SB, TARAKAN – Polemik pemisahan Pemilu dan Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi perhatian serius kalangan intelektual dan pengawas pemilu di Kalimantan Utara. Rumah Inspirasi Perbatasan menggelar diskusi bertema “Masa Depan Pemilu dan Pilkada, Sinkronisasi Sistem Politik Pasca Putusan MK” di Ballroom Hotel Lotus Panaya, Senin (4/8/2025).
Kegiatan yang menghadirkan akademisi Universitas Borneo Tarakan, perwakilan Bawaslu Kaltara, serta perwakilan dari Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara ini menyimpulkan satu hal. Putusan MK memicu kebingungan hukum dan berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan kepala daerah.
Ketua panitia kegiatan, Sukri Rabin Agus, menegaskan bahwa diskusi ini digelar untuk memberikan edukasi kepada para pemangku kepentingan agar tidak terjebak pada aspek teknis pemilu semata.
“Ini bukan hanya soal kapan pemilu digelar, tapi bagaimana masa depan sistem politik kita. Diskusi ini menghasilkan pandangan penting soal perlunya amandemen undang-undang agar tidak stagnan secara konstitusional,” tegas Sukri.
Ia menambahkan, Rumah Inspirasi Perbatasan telah menyusun notulensi dan kesimpulan dari hasil diskusi untuk dijadikan pijakan advokasi dan edukasi publik ke depan.
Dari sudut pandang akademik, H. Mumaddadah dari Universitas Borneo Tarakan menilai bahwa putusan MK justru mengacaukan konstruksi hukum pemilu.
“Yang terjadi bukan pemisahan, tapi malah peleburan antara pemilu legislatif dan pilkada. Padahal itu beda domain. Ini menabrak pasal-pasal konstitusi, terutama Pasal 22E dan Pasal 18 UUD 1945,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa putusan MK bisa memicu stagnasi konstitusional karena tidak ada kepastian pelaksanaannya.
“Kalaupun DPR bikin undang-undang baru, tetap bisa ditabrak lagi oleh MK. Artinya ini berpotensi jadi lingkaran setan hukum,” katanya.
Namun ia mengakui bahwa secara niat, putusan itu bertujuan baik untuk mengurai kejenuhan pemilih dan mempermudah beban penyelenggara pemilu yang terbukti kewalahan seperti Pemilu 2019 lalu.
Dari sisi pengawasan pemilu, Anggota Bawaslu Kaltara, Herry Fitrian Amandita, menyebut diskusi ini penting mengingat masih tingginya polemik di tengah masyarakat.
“Masyarakat masih bingung, bahkan peserta juga. Kalau pemilu dipisah 2 tahun lebih, berarti kepala daerah bisa kosong. Ini membuka peluang perpanjangan jabatan atau pengangkatan Pj (Penjabat),” ujar Herry.
Ia menegaskan bahwa Bawaslu tetap akan bekerja sesuai UU yang berlaku, baik UU Pemilu 2017 maupun regulasi baru yang mungkin terbit nantinya.
“Kami siap beradaptasi. Tapi yang jelas, dampaknya nanti pasti besar. Tinggal bagaimana para pembuat kebijakan bisa mengantisipasinya,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi langkah awal penting dalam mengurai benang kusut pasca Putusan MK No. 135/PUU-XXI/2023, yang telah merombak desain pelaksanaan pemilu di Indonesia. Di tengah banyaknya hipotesis dan ketidakpastian, publik kini menunggu langkah konkret dari DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu. (rz)
Discussion about this post