SB, NUNUKAN – Sejumlah anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang kembali dari Malaysia menghadapi tantangan serius dalam melanjutkan pendidikan mereka akibat tidak memiliki dokumen kependudukan yang sah.
Menanggapi situasi ini, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Nunukan bergerak cepat melakukan pendataan dan penerbitan identitas bagi anak-anak tersebut.
Kepala Disdukcapil Nunukan, Agus Palentek, mengungkapkan, banyak anak PMI yang kembali tanpa membawa akta kelahiran maupun Nomor Induk Kependudukan (NIK). Kondisi ini menyebabkan mereka tidak dapat didaftarkan dalam sistem pendidikan nasional, yang sepenuhnya terintegrasi dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
“Setiap tahun selalu ada anak PMI yang tertahan tidak bisa sekolah karena belum punya NIK. Padahal, untuk mendaftar ke sekolah wajib mencantumkan NIK yang sudah valid di sistem Dapodik,” kata Agus Palentek kepada media ini, Jumat (10/10/2025).
Untuk mengatasi masalah ini, Disdukcapil menjalin kerjasama dengan sejumlah panti asuhan di wilayah Nunukan. Panti asuhan dianggap sebagai tempat penampungan sementara bagi banyak anak PMI yang kembali dari Malaysia. Melalui kerjasama ini, Disdukcapil dapat melakukan pendataan langsung agar anak-anak tersebut segera memiliki identitas resmi.
Prosesnya dimulai dengan penerbitan NIK sementara, yang kemudian diikuti dengan akta kelahiran dan Kartu Identitas Anak (KIA). Setelah mencapai usia 17 tahun, anak-anak tersebut akan mendapatkan KTP elektronik (e-KTP) seperti warga negara lainnya.
Agus menekankan, pemberian identitas kependudukan bukan hanya sekadar masalah administrasi, tetapi juga merupakan bentuk perlindungan negara terhadap anak-anak PMI yang seringkali menjadi korban dari status keimigrasian orang tua mereka.
“Kalau tidak kita bantu, mereka akan kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, terutama hak untuk sekolah dan mendapatkan pelayanan publik,” tegasnya.
Namun, Agus tidak menampik bahwa kasus serupa akan terus berulang karena masih banyak warga Nunukan yang bekerja di Malaysia secara ilegal tanpa membawa dokumen resmi keluarga. Hal ini menyebabkan anak-anak mereka tidak tercatat dalam sistem administrasi Indonesia.
“Kami sadar ini bukan persoalan yang bisa selesai dengan cepat. Tapi selama masih ada anak yang tidak punya identitas, kami akan terus bantu. Negara tidak boleh menutup mata,” pungkasnya. (dln)
Discussion about this post