SB, NUNUKAN – Ketua Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan Ryan Anyoni menyampaikan pandangannya mengenai degradasi lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan di Desa Pelaju, Desa Tagul dan Desa Lubakan, Kecamatan Sembakung.
Ia menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak masyarakat adat. Sebab, fakta di lapangan menunjukkan adanya dampak negatif dari aktivitas pertambangan terhadap lingkungan.
“Efek selanjutnya apa? Terjadi degradasi lingkungan hidup, itu pasti. Faktanya, sebelum aktivitas tambang teman-teman Mip, saya kira tidak ada terjadi seperti itu ya. Nah, artinya ini kan indikator bahwa ini merupakan dampak dari aktivitas pertambangan. Jangan kita abai seolah-olah kemudian aktivitas pertambangan kita ini tidak menyebabkan kerusakan,” ujar Antoni dalam rapat dengar pendapat (RDP) tentang dugaan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan PT Mandiri Intiperkasa (MIP) di wilayah Sembakung, Selasa (6/10/2025).
Ryan juga menyinggung mengenai efek domino dari aktivitas pertambangan yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup. Ia menekankan bahwa persoalan batas wilayah antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan masalah kehidupan dan hak-hak masyarakat adat.
“Saya juga ingin sampaikan, memang persoalan batas lingkungan hidup antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau sampai sekarang masih digodok sekali lagi, Bapak-bapak dari pemerintah teknis kabupaten maupun provinsi. Ini bukan berarti kita harus abai. Kenapa? Ini masalah kehidupan. Kalau hanya karena persoalan batas wilayah saja, lalu kita membiarkan masyarakat adat enggak bisa beraktivitas untuk menghidupi keluarganya, saya kira ini tidak manusiawi,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat adat tidak mungkin menunggu masalah administrasi pemerintahan selesai karena mereka harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia juga menyinggung mengenai kompleksitas administrasi di Indonesia, di mana seringkali kekuatan dan koneksi menjadi faktor penentu.
“Mereka harus makan setiap hari, mereka harus mencari sumber pendapatan setiap hari. Kalau menunggu masalah pemerintahan, saya kira kita semua juga paham administrasi di negara Konoha ini, di Indonesia ini kompleks, ada berapa pintu dan siapa kuat maka lulus. Jangan malu untuk mengakui itu dan ini terjadi, ini benar,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan industri, namun bukan berarti dengan banyaknya rekrutmen, kerusakan lingkungan yang berdampak pada komunitas yang lebih kecil diabaikan. Ia menekankan pentingnya menggunakan hati dan menghormati keyakinan masyarakat adat sebagai pewaris tanah di wilayah tersebut.
“Saya sepakat dengan masyarakat adat Tidung. Saya bukan orang Tidung, tapi saya sepakat dengan masyarakat adat Tidung bahwa jangan pernah abaikan mereka yang memang pewaris tanah di wilayah tersebut, apapun bentuknya. Kalau bahasa kami daerah pamali, kalau mereka nanti menyumpahi, mungkin ini semacam intuisi ya bahwa perusahaan Anda akan mengalami kerugian sepanjang Anda beraktivitas di situ. Saya yakin itu terjadi. Ini kepercayaan, tetapi tolong dihormati juga keyakinan kami,” pungkasnya.
Muhammad Mansur, anggota DPRD Nunukan yang hadir dalam RDP itu dengan tegas menyoroti dampak aktivitas pertambangan terhadap lingkungan hidup dan mendesak perusahaan serta pemerintah untuk lebih serius dalam menangani masalah ini.
Ia mempertanyakan validitas dan penggunaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai “senjata” oleh perusahaan.
“AMDAL itu jangan dipakai senjata buat perusahaan bahwa kami sudah punya AMDAL, itu jangan dipakai senjata. Saya yakin AMDAL itu memang formalitas pertama, tapi ketika sudah berjalan dianggap tidak formalitas karena perusahaan itu selalu merasa benar karena mengacu pada senjata,” ujarnya.
Menurutnya, degradasi lingkungan adalah fakta yang tak terbantahkan dan merupakan indikator langsung dari aktivitas pertambangan. Ia menolak alasan tumpang tindih batas wilayah antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Tana Tidung sebagai pembenaran untuk mengabaikan masalah kehidupan masyarakat.
“Ketika terjadi pencemaran lingkungan, pasti akan mengalir di salah satu daerah. Itu juga tanggung jawab perusahaan. Jadi kita tidak boleh mengelak seperti itu. Ini masalah kehidupan, ini masalah perut. Kalau hanya karena persoalan batas wilayah, lalu kita membiarkan masyarakat adat enggak bisa beraktivitas untuk menghidupi keluarganya, saya kira ini tidak manusiawi,” tegasnya.
Setelah mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak, termasuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provisi Kaltara dan Nunukan, Ryan Antoni selaku pimpinan rapat memberikan 2 opsi yang ditempuh. Pertama DPRD akan membuat pansus untuk mencari kebenarannya dan kedua<span;> negosiasi dengan pihak yang terdampak.
“Tapi kita turun lapangan dulu untuk melihat langsung masalah ini. Kita tawarkan perusahaan apakah mau penyelesaian Bipartit, atau sampai Pansus. Tapi sekali lagi, DPRD Nunukan tak mampu menjamin ada tindakan masyarakat adat diluar kewenangan kami,” tutup Rian. (dln)
Discussion about this post