SB, TARAKAN – Puluhan masyarakat dan mahasiswa mengikuti pelatihan pembuatan probiotik berteknologi yang ramah lingkungan dan manajemen usaha tambak pada Minggu, 20 Juli 2025. Pelatihan yang digelar oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Borneo Tarakan (UBT) ini dalam rangka peningkatan produktivitas tambak budidaya udang windu di Kalimantan Utara (Kaltara)
Tidak hanya persoalan budidaya, peserta pelatihan juga dilatih bagaimana menjaga tambak agar tetap mengahasilkan udang berkualitas tinggi hingga bagaimana mereka bisa menjual hasil budidayanya. Pematerinya pun tak main-main. Sejumlah dosen UBT ikut memberikan materi dalam kegiatan tersebut.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) yang juga Tim LPPM UBT Dr. Muhammad Amien H, S.Pi., M.Si. memberikan materi pelatihan tentang peningkatan produktivitas tambak udang windu dengan aplikasi probiotik dan praktik pembuatan atau kultur bakteri probiotik. Selanjutnya, Dosen Fakultas Pertanian UBT Dr. Nur Indah Mansyur, M.Si menyampaikan materi tentang proses pengapuran tambak dan Dosen Fakultas Ekonomi UBT Nurjannatul Hasanah, S.E., M.M. menyampaikan materi manajemen usaha dan pemasaran udang windu serta pembuatan keuangan digital.
Muhammad Amien yang juga Ketua Tim LPPM menjelaskan, kegiatan ini merupakan program pemberdayaan kemitraan masyarakat dengan skema pemberdayaan berbasis masyarakat yang dinisiasi oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemdiktisaintek). Melihat peluang ini, pihaknya dan sejumlah akademisi UBT turun langsung ke lapangan untuk mensosialisasikan hasil riset probiotik yang ramah lingkungan.
“Kegiatan hari ini itu adalah peningkatan produktivitas Tambak Udang Windu dengan teknologi ramah lingkungan, yaitu adalah probiotik. Sebagaimana kita pahami bahwa produktivitas tambak kita di Kalimantan Utara ini kan dari bertahun-tahun mengalami penurunan,” ungkapnya.
Racikan probiotik ini, kata Amien, terdiri dari beberapa bahan. Salah satunya adalah botol berisi bakteri yang diambil dari tambak di Sulawesi Selatan. Amien juga mengaku telah melakukan riset ini di Pulai Tibi dan berhasil meningkatkan Survival Rate (SR) hasil tambak hingga 30%. Peserta pelatihan yang mendengar ini langsung antusias menyimak praktik meracik probiotik ini.
“Masing-masing digunakan pada bulan pertama (RICA-1), kedua (RICA-2), dan ketiga (RICA-3) dalam satu siklus budidaya. Jadi, masing-masing probiotik RICA (Research Institute for Coastal) ini berbeda jenis bakterinya,” beber Amien.
RICA 1, paparnya, mengadung bakteri brevibacillus laterosporus, yang diisolasi dari tambak di Sulawesi Selatan. Sementara RICA 2 mengandung bakteri serratia marcescens, yang diisolasi dari daun mangrove, dan RICA 3 mengandung bakteri pseudoalteremonas sp., yang diisolasi dari sedimen laut. Probiotik RICA ini juga berasal dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan Maros, Sulawesi Selatan.
“Dan di sisi lain bisa mencapai target 100 kilogram per hektare. Aplikasi probiotik ini akan dilanjutkan di Pulau Peking (Tanjung Buka), Kabupaten Bulungan,” bebernya.
Amien pun berharap, kegiatan ini terus berlanjut dan merata ke seluruh nelayan dan petambak. Sebab, salah satu tujuan UBT memperkenalkan teknologi yang sudah teruji beberapa tahun belakangan ini agar bisa diaplikasikan dalam upaya pembudayaan tambak secara mandiri.
“Tapi tidak menutup kemungkinan, ketika di luar dari kegiatan ini ada yang ingin berkolaborasi atau bertanya berkaitan dengan praktik langsung di lapangan probiotik ini, kami terbuka untuk membantu mereka,” harap Amien.
Sementara itu, Kepala Asosiasi Pembudidaya Udang Windu Kalimantan Utara, Haryanto mengatakan, kegiatan ini sangat membantu pembudidaya udang windu. Kegiatan yang sebelumnya, kata Haryanto, pernah dilakukan bersama NGO (Non-Governmental Organization) asal Jerman bernama Jiset 2 tahun lalu, kemudian dilanjutkan oleh UBT, dinilai bisa membantu produktivitas petambak kedepannya.
“Jalan sampai hari ini. Inilah tindak lanjut setelah ditinggalkan oleh NGO Jiset itu, akan ditindak lanjuti oleh teman-teman dari Borneo UBT, seperti itu,” kata Haryanto.

Haryanto mengaku, mereka telah mencoba produk probiotik ini selama tiga siklus. Pada saat siklus pertama, mereka menghasilkan lebih dari satu ton udang windu.
“Dari awalnya itu memang susah sekali, walaupun cuma sampai ratusan kilo, susah sekali kita dapat hasil itu. Tapi setelah kita pakai penggunaan probiotik ini dengan sesuai prosedur SOP-nya seperti itu, ya alhamdulillah di siklus pertama sudah bisa saya menghasilkan satu ton,” ungkapnya.
Kendala pembuatan probiotik ini, kata Haryanto, ada beberapa bahan yang sulit didapatkan. Bahan itu adalah dedak. Bahan ini adalah salah satu bahan dari sembilan bahan penting untuk pembuatan probiotik ini.
“Ada beberapa seperti kalau yang itu ada tepung ikan, kadang jarang juga yang ada di sini, di Kalimantan Utara. Kemudian tadi dedak. Kalau khusus di Kota Tarakan, karena mungkin saya saja dan beberapa kelompok di sini yang punya tanah rempah untuk menghasilkan dedak,” tutupnya. (sdq)
Discussion about this post