SB, TARAKAN – Polemik maraknya ijazah palsu dalam prosesi Pemilihan Umum (Pemilu) dinilai tak bisa dilepaskan dari peran partai politik yang seharusnya menjadi garda terdepan lahirnya pemimpin di setiap daerah. Rakyat, sebagai pemilih pun harus diberikan informasi akurat terkait calon-calon pemimpin mereka, salah satunya perihal keabsahan ijazah.
“Pemilu ini ‘kan melibatkan partisipasi rakyat sebagai pemilihnya, yang bahkan tidak lepas melibatkan masyarakat dengan SDM paling rendah sebagai pemilih. Hal ini terjadi sejak reformasi lahir dari rahim seorang laki-laki bernama Amien Rais,” ungkap Ketua Komisi Informasi (KI) Kalimantan Utara (Kaltara), Fajar Mentari.
Namun yang terjadi, kata Fajar, partai politik justru mendaftakan para calon yang diusung hanya berdasarkan kuantitasnya, bukan kualitasnya. Umumnya, mereka lebih mementingkan peluang keterpilihan setiap calonnya, dengan tolok ukur siapa yang dianggap punya kemampuan financial penunjang, tokoh masyarakat dan punya keluarga besar ketimbang latar belakang sang calon.
“Tujuan Pemilu akhirnya hanya berorientasi pada kepentingan partai tertentu. Pemilu hanya dijadikan topeng, seolah menjadikan rakyat sudah berdaulat. Demokrasi hanya kamuflase untuk menguntungkan segelintir kelompok rakyat, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia,” terang Fajar.
Sejatinya, kata FM –sapaan akrabnya–, semangat dan tujuan Pemilu ini untuk mengusung kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan partai tertentu. “Demokrasi itu tidak egois. Rakyat (hanya) menjadi korban atas nama demokrasi, dan alhasil wakil rakyat hanya didominasi orang-orang yang tidak kompeten,” terangnya.
Dijelaskan FM, sejauh ini negara telah memberikan ruang, membuka kesempatan bagi mereka yang putus sekolah atau tidak lulus melalui program paket. Tapi, lanjutnya, hal itu harusnya dimaknai sebagai upaya calon-calon pemimpin dari partai untuk meraihnya lalu menggunakannya saat Pemilu berlangsung.
“Semisal ijazahnya paket B, maka ia mestinya mengambil sekolah normal SMA selama 3 tahun, bukan ambil paket C lagi. Atau jika ijazahnya paket C, maka mestinya ia kuliah normal untuk mengambil strata satunya. Kemudian, ijazah terakhir melalui pendidikan normal itulah yang digunakan untuk mendaftar. Idealnya ‘kan harusnya seperti itu,” papar Fajar.
Fajar juga menjelaskan, fenomena ini kemudian membangun sebuah mindset, “buat apa sekolah dan berpendidikan tinggi, kalau perlu tidak perlu sekolah, cukup ambil paket A, B, dan C. Toh juga sudah bisa jadi pejabat”. Padahal, kata FM, Pemilu harusnya menjadi salah satu ajang edukasi, bukan ajang pembunuhan mental.
“Ini ‘kan bukan soal siapa yang jenjang pendidikannya paling tinggi, tapi ini soal keterbukaan informasi kepada rakyat bahwa apakah calon pejabat yang bakal membuat produk kebijakan pernah sekolah atau tidak, ijazahnya asli atau tidak,” ucapnya.
“Tidak apa-apa staf DPRD-nya ijazah S-1, S-2, atau bahkan Doktor, sementara anggota DPRD-nya ijazah ,” sambungnya menegaskan.
Memang, kata FM, ijazah bukan jaminan kemampuan seseorang dan harus diukur dari seberapa tinggi jenjang pendidikannya. Namun, harus diakui bahwa tidak sedikit yang lulusan bukan sarjana, tapi mereka punya kemampuan yang lebih baik.
“Agar tidak ada lagi pertanyaan; “Ini apa-apaan?”, “Demokrasi macam apa ini?” Kalau anda semuanya mau jadi pejabat, caranya adalah jadi wakil rakyat saja, toh dengan syarat yang gampang, tidak perlu sekolah, cukup ambil paket A, B, dan C,” tutup Fajar. (red)
Discussion about this post