SB, TARAKAN – Suhu politik internal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Utara (Kaltara) memanas. Puluhan wartawan lintas media di Tarakan resmi melayangkan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan Ketua PWI Kaltara, Nicky Saputra Novianto. Mereka menilai Nicky gagal menjalankan organisasi secara demokratis dan kolektif, hingga mendesaknya mundur dari jabatan.
Desakan ini dituangkan dalam pernyataan terbuka yang ditandatangani anggota aktif PWI. Aspirasi tersebut muncul dari rasa kecewa terhadap gaya kepemimpinan Nicky yang dianggap kerap mengabaikan forum-forum internal serta tidak melibatkan anggota dalam pengambilan keputusan penting.
“Suara kami tidak pernah diindahkan, baik yang disampaikan lisan maupun tertulis. Padahal, organisasi ini seharusnya berjalan dengan prinsip kolektif dan transparan,” ungkap salah satu wartawan yang ikut menandatangani mosi, Kamis (22/8/2025).
Mosi tidak percaya ini juga berujung pada desakan agar Nicky mengundurkan diri. Para penggagas meminta PWI Pusat segera turun tangan, bahkan mendorong dilaksanakannya musyawarah luar biasa sebagai solusi penyelamatan organisasi.
Sekretaris PWI Kaltara, Aswar, mengakui dinamika tersebut memang tengah bergulir. Menurutnya, suara penolakan tak hanya datang dari Tarakan, melainkan juga dari beberapa kabupaten lain di Kaltara.
“Kami memahami bahwa ini bentuk ekspresi anggota. Semua sikap akan diproses sesuai mekanisme organisasi. PWI punya aturan dalam PD/PRT yang harus dihormati,” jelasnya.
Aswar menegaskan, perbedaan pandangan tak boleh mengorbankan prinsip kolektif kolegial yang sudah menjadi roh organisasi. Ia bahkan mengingatkan agar isu ini tidak dikaitkan dengan kepentingan Kongres Persatuan PWI yang digelar di Cikarang, Bekasi, pada akhir Agustus ini.
“Kalau ada pihak tertentu yang mengaku membawa dukungan PWI Kaltara untuk calon tertentu di kongres, silakan dicek baik-baik. Jangan sampai ada yang menunggangi situasi ini demi kepentingan pribadi,” tegas Aswar.
Para penggagas mosi menekankan bahwa langkah ini bukan upaya memperkeruh suasana, melainkan bentuk tanggung jawab moral menjaga integritas PWI.
“Kami hanya ingin organisasi ini kembali ke jalur demokratis. Kalau ketua tetap ngotot dengan ‘hak prerogatif’-nya, maka yang terancam adalah masa depan PWI sendiri,” tandas mereka. (rz)
Discussion about this post