SB, TARAKAN – Persoalan pelik yang kerap dihadapi masyarakat terkait kepemilikan tanah belakangan ini sejak lama menjadi perhatian serius pemerintah. Namun, aturan yang dikeluarkan pemerintah selama ini tak melulu memuaskan masyarakat. Di Kota Tarakan sendiri, persoalan kepemilikan tanah sering larut dan penyelesaiannya cukup pelik yang sering berakhir konflik.
Contohnya saja soal kabar pencabutan puluhan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Kabar ini tentu saja tak dipadang remeh oleh masyarakat. Pasalnya, lahan yang masuk dalam daftar PTSL itu sudah lama memanfaatkan dan bermukim di lahan tersebut. Hal ini langsung ditanggapi Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Tarakan, Dasih Tjipto Nugroho.
“Yang menjadi tolak ukur pencabutan PTSL itu, adanya sertifikat yang lebih dulu terbit di lokasi itu. Tapi, kalau terkait dengan mana yang lebih dulu terbitkan sertifikat, itu yang kita akui,” ungkapnya.
Dijelaskan Dasih, persoalan lainnya adalah banyaknya masyarakat yang memiliki sertifikat lama yang belum didaftarkan secara digital. Untuk itu, Dasih berharap agar masyarakat yang sertifikatnya belum didata secara digital agar segera melapor ke Kantor BPN Kota Tarakan.
“Dan waktu itu pemetaannya masih belum ter-digitalisasi semua. Jadi sampai sekarang pun ada beberapa ribu yang belum ter-plotting karena mereka tidak lapor. Jadi, seperti Pak Menteri bilang, sertifikat yang diterbitkan di bawah 97, nah sebaiknya melapor ke kita untuk kita plotting dan sekaligus kita alih-mediakan supaya letaknya tepat, luasnya itu pasti, gitu loh,” imbuhnya.
Dari pantauan media ini, banyak masyarakat yang memang abai terhadap legalitas yang satu ini. Mereka asyik menggarap lahan, namun menunda pekerjaan paling penting dari hanya sekadar menggarap lahan, yakni mengurus legalitas lahan, seperti sertifikat.
Belum lagi, beberapa tahun lalu terbit Peraturan Pemerintah (PP) nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Salah satu bunyinya adalah, ‘Apabila tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar itu berupa tanah dengan hak atas tanah atau kewenangan administratif dan merupakan seluruh wilayah, maka peruntukan tanah terlantar juga meliputi: Penghapusan hak atas tanah atau hak administratif. Pemutusan hubungan hukum; pengukuhan sebagai tanah negara, tanah terlantar yang sebelumnya dikelola langsung oleh negara.
Olehnya, kata Dashi, bila ada tanah yang sudah lama digarap namun belum bersertifikat lantas bermasalah di kemudian hari, maka jalan satu-satunya adalah mengadukan hal itu aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui mana tanah yang memiliki kelengkapan administrasi yang valid secara hukum. Dala hal ini, BPN, kata Dashi, hanya bertanggungjawab memperlihatkan siapa pemilik lahan tersebut berdasarkan sertifikat.
“Ada juga masyakarat yang sudah 10 tahun (menggarap lahan), sudah tersertifikat kan di tanah (atas nama orang lain) itu, dia baru nge-klaim, “Itu tanah saya, itu”. Seperti itu sudah bukan ke kita pengaduannya. Itu sebenarnya langsung ke pengadilan saja, supaya diketahui atau dipastikan surat mana yang lebih di mata hukum itu diakui,” tekannya.
Begitu juga dengan masyarakat yang sudah menancapkan patok di salah satu lahan yang akan digarap. Tidak hanya memperhatikan surat-suratnya, tapi juga harus memastikan patok lahannya tak luput dari perhatian. Bila terjadi perusakan patok, tidak ada jalan lain selain melaporkan peristiwa pemasangan patok tersebut ke aparat penegak hukum untuk mendapatkan jalan keluar.
“Merusak batas tanah itu termasuk pidana. Ada hukumnya itu. Tapi yang punya sendiri batasnya harus menjaga juga, jangan terus diem saja,” tutupnya. (sdq)
Discussion about this post