SB, TARAKAN – Ahli hukum pidana menyoroti penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang belum lama terjadi di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan.
Padahal, dengan bukti fisik seperti memar sudah cukup untuk menindaklanjuti kasus KDRT.
Sebelumnya, terjadi peristiwa dugaan KDRT pada Senin, 9 Desember 2024 malam sekira pukul 19.30 Wita di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, dimana berdasarkan pengakuan korban PI (24) mengalami memar disekujur tubuh.
Namun, berdasarkan keterangan Kapolsek Bunyu, AKP Luzman Aziz pihaknya belum menemukan cukup bukti dalam pemenuhan pasal 44 tentang penghapusan Kekerasan KDRT.
Dengan demikian, pihaknya masih menunggu keterangan ahli untuk menetapkan layak tidaknya perkara teraebut ke penyidikan.
Dosen Hukum Pidana Universitas Borneo Tarakan (UBT) Dr. Aris Irawan, S.H.,M.H.,CPM.menyatakan, menurut yurisprudensi atau keputusan hakim terdahulu yang dijadikan pedoman oleh hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang serupa, maka yang dinamakan penganiayaan ialah perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, dan menyebabkan luka-luka.
“Adanya memar disekujur tubuh pada seseorang, dapat dikategorikan dugaan penganiayaan,” terang Aris Irawan.
Tak hanya itu, adanya kekerasan psikis dan fisik diatur dalam Undang-undang (UU) KDRT sebagai perbuatan pidana.
“Seharusnya, tidak ada alasan bagi Kepolisian untuk tidak menindaklanjuti kasus KDRT,”
Diterangkan juga Aris Irawan, adanya dua alat bukti atau bukti permulaan dinilai cukup untuk dapat menduga terjadinya perbuatan penganiayaan. Sudah seharusnya kepolisian memproses perbuatan tersebut.
“Tidak ada alasan untuk tidak memproses laporan KDRT,” terangnya.
Lebih lanjut, KDRT yang menimbulkan rasa sakit maupun memar masuk dalam delik biasa. Artinya, tindak pidana tersebut dapat diproses tanpa persetujuan atau laporan dari korban atau pihak yang dirugikan.
Sekalipun tidak ada pengaduan dari korban, masyarakat bisa mengadukan ke Kepolisian.
“Kepolisian bisa melakukan proses pemeriksaan baik ditingkat penyelidikan dan penyidikan,” tegasnya.
Tak hanya itu, Dr. Aris Irawan menilai pada Pasal 44 UU No. 23/2004 tentang KDRT telah terpenuhi.
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun,” berdasarkan pasal 44 huruf a No. 23/2004 tentang KDRT.
Aris Irawan juga mengatakan, dilihat dari uraian KDRT dengan bukti kekerasan fisik yang disertai foto memar dan hasil visum. Maka dapat dapat dikatagorikan dalam unsur objektif.
Ia menjelaskan, unsur objektif dalam hukum artinya unsur yang berkaitan dengan perbuatan itu sendiri, seperti tindakan fisik yang melanggar hukum.
Selain itu terdapat pula unsur subjektifnya, maka semua unsur dapat dipenuhi dan perbuatannya bisa diduga dikategorikan masuk perbuatan yang melanggar UU KDRT.
Unsur subjektif yang meliputi, kesengajaan atau ketidaksengajaan, dimana hal tersebut berkaitan dengan diri pelaku suatu perbuatan.
“Sehingga, seharusnya pelaku mempertanggungjawabkan perbuatanya sesuai ketentuan pidana yang dilanggarnya,” tutupnya. (OC)
Discussion about this post