SB, TARAKAN – Kecelakaan transportasi laut dan sungai yang terjadi baru-baru ini telah menimbulkan dampak signifikan terhadap citra speed boat non-reguler di Kota Tarakan.
Bahkan, dari beberapa kejadian laka laut ini memunculkan stigma negatif masyarakat yang menyamaratakan seluruh speedboat non-reguler tidak aman. Hal ini pun menjadi tantangan bagi para pelaku usaha ini.
Ketua Asosiasi Speed Boat Non-Reguler Karya Bersama Kota Tarakan, Edi Suryono mengungkapkan, pihaknya telah berupaya memperkuat legalitas dengan mengirimkan surat kepada berbagai instansi terkait. Namun hingga kini belum mendapat tanggapan.
“Kami memahami kekhawatiran masyarakat, dan kami terus berupaya meningkatkan standar keselamatan,” ujarnya.
Sejauh ini, Asosiasi Karya Bersama telah menjalin kerja sama terkait tempat tambat speed boat non-reguler. Mereka juga mengklaim selalu konsisten dalam hal asuransi. Untuk tambat pelabuhan, mereka tetap membayar di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pelabuhan Tengkayu 1.
Di Kota Tarakan, terdapat beberapa asosiasi perkumpulan speed boat non-reguler, seperti di SDF, Pelabuhan Belakang Ramayana, Beringin, dan Perikanan. Masing-masing memiliki jalur operasional sendiri. Dan Asosiasi Karya Bersama beroperasi di SDF.
Terkait prosedur carteran, penumpang biasanya menghubungi pemilik speed boat secara langsung. Asosiasi hanya berperan sebagai wadah. Anggota asosiasi memiliki speedboat dengan berbagai fungsi, seperti mengangkut barang dan penumpang.
Edi Suryono pun berharap, agar speedboat non-reguler dapat diakui secara resmi. Perbedaan utama antara speedboat reguler dan non-reguler terletak pada ukuran dan jadwal keberangkatan. Speed boat reguler memiliki jadwal tetap, sedangkan non-reguler tidak.
“Kami berinisiatif membentuk Asosiasi Speed Non-Reguler Karya Bersama agar memiliki badan hukum,” jelas Edi.
Sesuai peraturan menteri, KSOP (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan) meminta agar speed boat non-reguler menggunakan dua mesin. Namun, Edi mempertanyakan apakah pihak kementerian memahami kondisi perairan di Kalimantan Utara.
Sementara, Sekretaris Asosiasi Speed Boat Non-Reguler Karya Bersama Kota Tarakan, Baktiar, mengungkapkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi lapangan di Kalimantan Utara.
Ia mengusulkan agar pengemudi speed boat tidak perlu membawa Surat Persetujuan Berlayar (SPB) ke KSOP, tetapi cukup melaporkan keberangkatan dan perkiraan kedatangan melalui telepon.
“Di daerah pesisir, tidak semua tempat memiliki petugas KSOP,” ujarnya.
Terkait SOP, Surat Persetujuan Berlayar belum dikeluarkan oleh instansi terkait. Speed boat non-reguler dianggap ilegal karena tidak diketahui oleh KSOP, tetapi legal karena memiliki surat speedboat dan sertifikat keselamatan.
“Masalah SPB muncul lantaran speedboat non-reguler tidak memenuhi kriteria KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang mensyaratkan dua mesin,” katanya.
KNKT sendiri mengakui dilema ini, karena speed boat mesin satu juga beroperasi di daerah lain di Indonesia. Asosiasi Karya Bersama tetap membayar biaya tambat pelabuhan, yang merupakan kewenangan Dishub (Dinas Perhubungan), terlepas dari masalah SPB yang menjadi kewenangan KSOP.
“Gelombang besar menjadi faktor utama kecelakaan transportasi air. Asosiasi Karya Bersama memantau cuaca dari BMKG dan menginstruksikan pengemudi untuk berhati-hati, ungkap Bahtiar.
“Di jalur sungai, kecelakaan sering disebabkan oleh papan atau kayu yang menghalangi jalur,” imbuhnya.
Menurut Bahtiar, kapasitas penumpang diukur berdasarkan panjang speed boat dan jumlah mesin. Speedboat mesin satu biasanya dapat mengangkut 20-25 penumpang.
Disamping itu, ia selalu mengingatkan penumpang tentang tujuan, waktu tempuh, dan nama kapten kapal. Ia juga meminta penumpang untuk menggunakan pelampung keselamatan dan memberikan edukasi tentang manuver kapal.
“Kami berharap dapat terus meningkatkan standar keselamatan dan mendapatkan pengakuan resmi. Juga regulasi yang ada dapat disesuaikan dengan kondisi perairan,” tutupnya.(OC)
Discussion about this post