SB, NUNUKAN – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Nunukan menolak keras penyamaan pupuk ilegal asal Malaysia dengan barang kebutuhan pokok (bapok) seperti gula, minyak goreng, dan LPG. HIPMI menilai narasi tersebut sebagai bentuk kesalahan konseptual yang dapat melemahkan sistem regulasi distribusi nasional, terutama dalam sektor pertanian.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum BPC HIPMI Nunukan, Djiorezi Silawane, S.H., pada Kamis (3/7/2025), menanggapi fenomena maraknya peredaran pupuk ilegal yang kerap dimaklumi dengan dalih tradisi perdagangan lintas batas di wilayah perbatasan.
“Pupuk adalah barang strategis nasional. Regulasi terhadap pupuk bersifat sektoral dan bersumber langsung dari kebijakan produksi pertanian berkelanjutan. Menyamakannya dengan Bapok adalah bias logika kebijakan, serta berbahaya jika ditoleransi secara publik,” tegas Djiorezi.
Djiorezi menjelaskan bahwa pupuk masuk dalam kategori sarana produksi pertanian, bukan barang konsumsi rumah tangga seperti Bapok. Karena itu, pengaturannya tunduk pada regulasi ketat dari Kementerian Pertanian dan tidak dapat disamakan dengan barang-barang yang diperbolehkan masuk melalui perjanjian perdagangan lintas batas.
“Pupuk memerlukan izin edar resmi, sertifikasi mutu, hingga pengawasan karantina pertanian. Distribusinya bahkan hanya bisa dilakukan melalui sistem e-RDKK untuk subsidi atau jalur resmi nonsubsidi,” jelasnya.
Sementara itu, kata dia, barang kebutuhan pokok seperti gula, tepung, minyak goreng, dan LPG memang diatur secara khusus dalam Border Trade Agreement (BTA) perjanjian yang diperbarui pada 8 Juni 2023 dan diatur dalam forum Sosek Malindo berdasarkan kebutuhan konsumsi warga perbatasan.
“BTA bukan pintu masuk semua barang. Ia adalah mekanisme diplomatik yang dibatasi daftar komoditas tertentu. Pupuk, oleh karena itu, tunduk pada jalur kebijakan domestik, bukan mekanisme batas negara,” lanjutnya.
Djiorezi menegaskan bahwa masuknya pupuk Malaysia secara ilegal ke wilayah Indonesia melanggar setidaknya tiga kerangka hukum nasional, yakni UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Karena pupuk tidak termasuk dalam daftar barang yang mendapat toleransi dalam skema BTA, maka setiap pemasukan tanpa izin resmi merupakan pelanggaran hukum positif dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kepabeanan dan perdagangan ilegal.
Menurut Djiorezi, pupuk ilegal berdampak langsung pada struktur ekonomi sektor pertanian, terutama dalam hal Distorsi harga pasar, Kerugian pelaku usaha legal, Ketimpangan distribusi pupuk nasional dan Melemahnya sistem subsidi pemerintah
“Jika kita biarkan, maka usaha legal di perbatasan seperti koperasi dan distributor resmi akan mati pelan-pelan, sementara pasar dibanjiri produk tanpa standar yang tidak jelas,” ungkap Djiorezi.
Sebagai respon konkret, Djiorezi mengusulkan sejumlah langkah untuk memperkuat distribusi legal dan membendung jalur ilegal, antara lain, penguatan koperasi Merah Putih sebagai simpul distribusi pupuk resmi di perbatasan, evaluasi dan pembaruan sistem e-RDKK berbasis data real-time agar petani tidak merasa terabaikan dan pembentukan Satgas Pengawasan Sarana Produksi yang melibatkan lintas instansi, guna menutup celah penyelundupan pupuk ilegal
“Kita tidak bisa lagi menoleransi logika darurat untuk membenarkan pelanggaran struktural. Pupuk bukan soal dispensasi, tapi soal pengelolaan produksi nasional. Apabila distribusinya lemah, maka perbaikilah sistem, bukan membiarkan jalur ilegal jadi norma,” tutupnya. (red)
Discussion about this post