SB, NUNUKAN – Pelemahan nilai tukar Rupiah yang kini mendekati level psikologis Rp4.000 per Ringgit Malaysia menghantam keras masyarakat Kabupaten Nunukan. Kondisi ini menyebabkan harga barang kebutuhan pokok, yang mayoritas dipasok dari Tawau, Malaysia, melonjak tajam, menggerus daya beli warga secara signifikan.
Pengamat Ekonomi dari Bersama Institute, Mega, menilai situasi ini sebagai ujian nyata bagi kedaulatan ekonomi bangsa. Menurutnya, pelemahan Rupiah di perbatasan bukan sekadar isu moneter, melainkan barometer yang mengukur kerapuhan struktur ekonomi lokal yang sangat bergantung pada produk impor untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ketika harga bahan pokok di wilayah NKRI lebih ditentukan oleh kurs Ringgit ketimbang kebijakan domestik, di situlah kedaulatan ekonomi kita sedang dipertaruhkan,” ujar Mega, Sabtu (27/9/2025).
Ketergantungan ini, lanjutnya, adalah akibat dari efisiensi logistik lintas batas yang membuat produk Malaysia lebih murah dan mudah diakses.
Mega menambahkan, kondisi ini menciptakan paradoks yang merugikan. Nelayan lokal tergiur menjual hasil tangkapan ke Malaysia untuk mendapatkan Ringgit yang lebih kuat. Namun, hal ini justru menyebabkan kelangkaan pasokan dan naiknya harga ikan di pasar Nunukan, sehingga menyulitkan warga setempat.
Sebagai solusi, Mega menekankan bahwa intervensi pemerintah tidak bisa lagi bersifat sementara seperti operasi pasar. “Sudah saatnya mengubah paradigma dari konsumtif menjadi produktif. Pemerintah harus mendorong lahirnya industri pengolahan atau hilirisasi mini berbasis sumber daya lokal seperti perikanan dan perkebunan di Nunukan,” tegasnya.
Menurutnya, hanya dengan membangun kapasitas produksi internal, Nunukan dapat mengurangi ketergantungan dan bahkan membalikkan arus perdagangan. “Tujuannya jelas, mengubah Nunukan dari pasar bagi produk Malaysia menjadi basis produksi yang mampu mengekspor kembali ke negara tetangga,” tutup Mega. (dln)
Discussion about this post