SB, TARAKAN – Sepekan sudah berlalu, peristiwa kebakaran yang meluluhlantahkan rumah Sinah (79) seorang lansia di Jalan Flamboyan Gang Lunto RT 27, Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat.
Dibalik peristiwa pilu yang terjadi tepatnya pada Minggu (5/1/2025) lalu, Sinah mengaku dirinya sempat memiliki firasat aneh sebelum kobaran api melalap bangunan yang ia tempati.
Saat tim SuryaBorneo.com berkunjung ke tempat tinggalnya, Sinah nampak perlahan berjalan ke luar dari kamar dengan menggunakan sarung yang menutupi setengah badan dan satu lagi menutupi bagian dada bekas luka bakar yang dideritanya.
Kemudian, sambil duduk bersandar, Sinah memperlihatkan luka bakar dipergelangan tangan kanan. Nampak luka itu masih basah.
Dalam rumahnya terlihat sisa sejumlah bantuan yang diterima dari tangan-tangan dermawan. Anak maupun cucu dari Sinah berkumpul di ruang tamu, mereka seolah penasaran mendengarkan kisah (cerita) Sinah saat kebakaran.
“Waktu itu perasaan nenek tidak enak, nenek paksa untuk istirahat, tapi mata tidak mau terpejam. Nenek rasa gelisah,” ucap Sinah.
Sebelum si jago merah menghanguskan rumah Sinah, ia sempat merapikan dan menduplikatkan dokumen penting seperti surat keterangan pensiun dan lainnya.
Sinah mengungkapkan, ia merasakan gelagat aneh ketika merapikan dokumen penting, namun sekali lagi ia tidak bisa menafsirkan firasat yang dirasakan.
“Surat itu sudah saya rapikan, simpan dibawah tilam,” katanya.
Ditengah kegelisahannya sebelum tidur, ia mendengarkan suara-suara yang bersahutan memanggilnya.
“Nenek, nenek, nenek, nenek, begitu, macam suara anak-anak saya yang sudah meninggal. Mungkin suara itu ingatkan saya jika akan terjadi bahaya,” ungkapnya.
Sinah yang akrab dipanggil Nenek Kliwon menuturkan, pukul 23.00 Wita terdengar bunyi ledakan disertai percikan api berasal dari atap rumah.
Mendengar ledakan itu, Sinah dengan tenaga yang terbatas mencoba menyelamatkan diri, menuju arah dapur rumah.
“Sudah sampai di pintu dapur, nenek ingat SK Pensiunan dan kembali dalam rumah,” tutur Sinah.
Lantas, Sinah mengatakan, ia tiba-tiba merasa mendapatkan kekuatan besar saat mengevakuasi diri. Biasanya ia tidak sanggup untuk berjalan.
“Macam ada yang angkat dan tolong saya, mungkin Allah yang melindungi saya,” ucapnya.
Diketahui, SK pensiun itu milik almarhum suaminya (Ahmad Arfan) yang bertugas dibagian identifikasi di Polres Tarakan. Dengan pangkat terahkir Sersan Mayor (Serma), atau setara Brigadir Kepala (Bripka). Mendiang meninggal pada tahun 1986 akibat penyakit ginjal.
“Semasa dinas, beliau ditugaskan mengurus TKI, ginjalnya nda berfungsi lagi,”
Sinah mengatakan, tiap HUT Bhayangkara, petugas dari Polres dan Polda bersama Bhayangkari rutin mengunjungi dan memberikan bantuan.
“Saya masih dihargai oleh Polisi, mereka masih sayang kepada nenek,” ucap Sinah.
Saat kejadian, batuan terus berdatangan dari pemerintah, TNI, Polri, tetangga bahkan masyarakat umum lainnya.
“Saya tidak mengenal si pemberi bantuan, tapi mereka yang mengenal saya,” terangnya.
Lebih jauh lagi Sinah menceritakan, bahwa ia pernah mendapatkan piagam penghargaan dari Markas Besar (Mabes) Polri atas mendukung suami meneruskan pendidikan. Namun piagam itu tidak dapat diselamatkan.
“Piagam itu sudah terbakar,” katanya.
Tanpa ia sadar, balok rumah yang hangus dimakan api menimpa kepala nenek berusia 79 tahun.
“Saya tidak merasakan tertimpa balok, cucu saya yang melihat,” ujarnya.
Ditengah kobaran api yang disertai asap, Sinah pun mengaku sudah tidak sadar sedang berada dimana.
“Mungkin saya jatuh dipintu, tiba-tiba saya sudah sama anak saya,” ucapnya.
Sinah lantas mengisahkan, bahwa dirinya lahir di Kota Tarakan, ayahnya juga berprofesi sebagai polisi. Ia memikiki darah campuran Timur dan Jawa Barat. Panggilan Kliwon adalah panggilan dari kecil.
Sampai sekarang Sinah masih mengalami trauma saat mengingat kejadian memilukan tersebut.
“Saya tidak mau kembali ke rumah, saya ingat api, trauma saya” ucap Sinah seraya meneteskan air mata.
Dari setiap lontaran pertanyaan, Sinah tanpa sadar terus menceritakan berkas-berkas penting peninggalan mendiang suaminya.
Dalam menjalani hidup, Sinah hanya mengharapkan gaji pensiun dan bantuan dari anak-anaknya. Setiap bulannya ia menerima gaji pensiun sebesar Rp1,4 juta, sebagian ia belikan obat dan sisanya ia simpan.
“Gaji pensiun cukup buat makan dan beli obat vertigo, sisanya anak-anak sering kirim sayur masak,” tukasnya. (OC/SB)
Discussion about this post