SB, TARAKAN – Lama tak dipublish di media, kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) ternyata masih menjadi perhatian serius Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan. Bahkan, berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tarakan, terdapat temuan baru kasus HIV di tahun 2025.
Pekerja Sosial (Peksos) Ahli Pertama Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat (Dinsos PM) Kota Tarakan, Alghi Fari Smith, S.ST mengungkapkan, Kota Tarakan adalah penyumbang terbesar kasus HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) di Kaltara. Namun, dalam penanganannya, masih menghadapi beberapa tantangan.
“Saya mengutip pernyataan dari Bang Agus Suwandy yang saat itu menjadi Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kaltara mengatakan, bahwa jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/Aids) Tarakan tertinggi di Kaltara. Beliau menambahkan, bahwa sejumlah ODHA Lost to Follow Up (LFU),” ungkap Alghi Fari Smith dalam wawancaranya bersama Borneo TV belum lama ini.
Dengan kata lain, lanjutnya, ODHA menghilang dari lokus sasaran sehingga petugas tidak bisa memantah dan memberikan pendampingan pengobatan. “Hal ini sangat mengkhawatirkan bila ODHA masih melakukan seks beresiko sebab berpotensi menularkan pada yang lain,” jelasnya.
Fari menilai, tren data dari tahun ke tahun, angka HIV/AIDS di Tarakan cukup banyak didominasi oleh LSL atau Lelaki Seks Lelaki. Melihat data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tarakan per 11 September 2024, disebutkan bahwa Kota Tarakan ada 66 kasus HIV. Dari jumlah itu, sebanyak 26 diantaranya adalah LSL atau perilaku homoseksual.
“Saya melihat ini relevan dengan referensi yang pernah saya baca, bahwa awal mulanya HIV/AIDS bernama GRID yaitu Gay Related Immune Deficiency. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), terutama gay berpotensi besar terkena HIV/AIDS,” paparnya.
Fari yang juga Sahabat Saksi dan Korban (SSK) pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI ini menambahkan, isu LGBT di Kota Tarakan menjadi fenomena belakangan ini. Hal ini juga menjadi atensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tarakan, sebab MUI telah membuat tim pencari fakta terkait LGBT.
“Isu LGBT di Tarakan harus menjadi atensi masyarakat Tarakan. Adanya kasus pembunuhan di Islamic Center kemarin (akhir tahun 2024) menunjukkan perilaku seksual menyimpang ini nyata adanya. MUI Tarakan (telah) membentuk tim pencari fakta LGBT,” beber Fari.
Dia juga berharap dengan adanya tim pencari fakti ini, pihaknya juga bisa menjadi kawan dan sahabat bagi LGBT yang ingin meninggalkan kebiasaan tersebut. Bahkan, Fari memberikan peluang kepada siapa pun yang ingin keluar dari lingkaran LGBT namun mendapatkan ancaman kekerasan yang membahayakan jiwa, untuk segera melaporkan diri.
“Saya menghimbau kepada siapa pun yang melihat, mendengar, menyaksikan dan atau mengalami kekerasan untuk dapat berani bicara dan lapor. Para korban bisa juga melapor ke Sahabat Saksi dan Korban atau SSK di nomor telepon 081220596432, untuk kemudian diusulkan mendapatkan perlindungan dari LPSK RI,” imbuhnya.
Tak sampai di situ, Fari juga menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang HIV. Mereka juga menyiapkan media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang HIV. Hal ini, papar dia, penting dilakukan, sebab masih banyak masyarakat yang memberikan stigma atau diskriminasi terhadap ODHA.
“Ada kaitannya HIV/AIDS dengan isu LGBT. Kita tidak membenci orangnya, tapi perilakunya sebab perilaku menjadi LGBT ditinjau dari hukum positif yang ada di Indonesia, hal tersebut dilarang. Apalagi berdasarkan agama, lebih ketat lagi larangannya. Pintu masuk HIV/AIDS juga terjadi melalui seks bebas, penyalahgunaan narkoba jenis jarum suntik yang bergantian,” tambahnya.
Dengan berbagai upaya edukasi di tengah masyarakat terkait pemahaman yang baik dan benar tentang HIV/AIDS, Fari pun berharap agar masyarakat tidak lagi memberikan stigma dan diskriminasi kepada ODHA. “Prinsip bahwa setiap individu itu unik, non diskriminasi, penerimaan klien apa adanya, no judge mental dan seterusnya, harus menjadi ruh dalam pendampingan terhadap ODHA,” serunya.
Lebih jauh, Fari juga mengingatkan, stigma terhadap ODHA cukup sering dilihat di lingkungan masyarakat. Akibatnya, ODHA terusir dari lingkungannya, bahkan sampai berujung pada keputusan bunuh diri.
“Artinya apa? HIV/AIDS memang penyakit yang berbahaya, sebab belum ada obatnya sampai sekarang. Namun ada yang lebih bahaya dari virus itu sendiri, yaitu stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sehingga mentalnya hancur dan semangat hidupnya padam. Oleh karena itu, ODHA perlu diberi dukungan psikososial dari lingkungan sekitarnya suapaya semangat dalam menjalani hidup,” tutup Fari. (red)
Discussion about this post