SB, TARAKAN – Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) tengah memperjuangkan agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberikan kewenangan untuk memverifikasi ijazah calon legislatif dan kepala daerah. Bila ditinjau secara administratif, KI berharap kewenangan menyeluruh, mulai ijazah SD hingga ijazah terakhir sang calon. Langkah ini diharapkan dapat menutup celah penyalahgunaan dokumen dan mencegah terjadinya Pemungutan Suara Ulang (PSU) akibat maraknya dugaan ijazah palsu seperti yang terjadi, termasuk di Kaltara.
Hal itu disampaikan Ketua KI Kaltara, Fajar Mentari, saat menjadi narasumber di acara sosialisasi Keterbukaan Informasi Pemilu, Selasa 22 Juli 2025 lalu. Fajar Mentari menyebut, pembahasan soal akses verifikasi ijazah oleh Bawaslu ini bahkan sedang berlangsung di tingkat pusat. Ia menilai, regulasi saat ini terlalu membatasi ruang gerak pengawasan karena alasan perlindungan data pribadi yang memang juga dipayungi oleh regulasi.
“Terkhusus untuk ijazah, ini sedang kita bahas bersama di pusat agar Bawaslu, diberikan akses memverifikasi secara administratif, mulai dari ijazah SD, SMP, hingga SMA yang berkaitan dengan kelayakan calon,” ungkap pria yang akrab disapa FM ini.
Fajar juga menyoroti pentingnya keterbukaan ini bagi masyarakat sebagai pemilih. Publik, kata dia, berhak mengetahui latar belakang pendidikan para calon wakil rakyat. Pasalnya, merekalah yang merumuskan produk-produk kebijakan publik, sehingga negara harus benar-benar menjamin standar kelayakan calon, apakah benar-benar pernah sekolah, ijazahnya diperoleh secara benar atau tidak.
Hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi ijazah yang asli-palsu, yaitu ijazah yang kepalsuannya asli. Dan mengantisipasi ijazah asli tapi palsu (Aspal), yaitu ijazah yang memang asli, tapi prosesnya yang palsu.
“Bayangkan kalau ternyata semua jenjang pendidikan calon itu cuma dari sekolah paket, dari A, B, hingga C. Sebab yang dipakai mendaftar ‘kan ijazah terakhirnya. Semisal paket C, Itu memang sah menurut aturan, tapi kasihan masyarakat kalau mereka tidak tahu ijazah SD dan SMP-nya yang barangkali juga paket A dan B. Syukur-syukur kalau ijazah paket C-nya asli, bagaimana kalau ya paket ya palsu?, dan kalaupun asli, bagaimana seandainya ijazah SD atau SMP-nya yang palsu, maka otomatis ijazah terakhirnya itu batal demi hukum,” ungkapnya.
Menurutnya, akses verifikasi tidak hanya penting dari sisi administratif, tapi juga demi menjaga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Fajar menegaskan, keterbukaan informasi adalah kunci mencegah konflik hukum yang berujung PSU. “Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, harus ada pengecualian bagi Bawaslu agar bisa mengakses data ini secara terbatas dan bertanggung jawab. Semakin banyak yang mengawasi, maka resiko tingkat pelanggaran akan semakin terminimilasir,” ujarnya.
KI Kaltara, lanjut Fajar, telah aktif mengawal transparansi Pemilu sejak 2024. Mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosialisasi keterbukaan informasi oleh KPU dan Bawaslu.
“Ini adalah langkah awal kami dalam mendampingi transparansi Pemilu, baik itu Pileg, maupun Pilkada. KI menaruh harapan besar agar seluruh tahapan Pemilu harus terbuka dan bisa diakses publik, termasuk regulasi yang mengaturnya,” ucapnya.
Fajar juga mendorong kolaborasi erat antara KPU, Bawaslu, dan KI untuk menciptakan Pemilu yang jujur, adil, dan akuntabel. Ia juga berharap jurnalis dan masyarakat ikut berperan aktif mengawal keterbukaan informasi demi menjaga integritas proses demokrasi di daerah.
“Cek fisik dan cek administrasi berkas, itu harus sungguh-sungguh ‘diplototin’. Setiap calon ini kan pasti punya riwayat hidup. Jadi, ibarat beli mobil bekas, jangan cuma cek surat-suratnya saja. Tapi perlu dicek bodi, kerangka mesin apakah sudah sesuai surat, dan lainnya. Sebaliknya jangan cuma cek fisik saja, tapi administrasinya secara keseluruhan itu juga harus sesuai dengan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” jelasnya.
Seyogianya, lanjut FM, pada saat para kader partai mendaftarkan dirinya untuk menjadi calon pejabat publik, maka ada konsekuensi logis untuk jenjang pendidikannya bisa dikonsumsi publik. “Agar pemilih tahu seberapa pantas dirinya untuk dipilih rakyat. Kalau bersih, kenapa harus risih?” ujar Fajar. (red)
Discussion about this post