SB, TARAKAN – Masyarakat Kota Tarakan belakangan ini harus berhadapan dengan cuaca cukup ekstrem. Hampir setiap hari selalu merasakan panas yang menyengat meski suhu di Tarakan masih terbilang normal, yakni sekitar 32 derajat hingga 33 derajat.
Lantas, apa yang menyebabkan cuaca panas itu cukup menyengat di kulit? Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kota Tarakan, Sulam Khilmi menjelaskan, peristiwa itu disebabkan kurangnya uap air yang ada di udara. Dia juga menyebut, kondisi ini disebabkan oleh adanya gelombang panas. Namun, kata dia, untuk Indonesia, tidak ada heatwaves (kondisi cuaca ekstrem berupa peningkatan suhu udara yang terjadi selama 5 hari berturut-turut atau lebih) karena wilayah Indonesia merupakan negara kepulauaan, sehingga sangat memudahkan putaran udara.
“Jadi yang dirasakan masyarakat seperti halnya di Tarakan, sebenarnya cuacanya tidak terlalu panas, dan belum masuk kategori ekstrim. Bahkan, masih terhitung normal, hanya saja kelembaban udaranya yang turun,” jelasnya.
Artinya, Sulam Khilmi, kandungan uap air yang ada di udara berkurang, sehingga yang dirasakan masyarakat adalah merasakan panas. Bahkan dari BMKG mencatat ada penurunan beberapa persen dari kelembaban udara.
“Ketika kandungan air di udara ini tinggi, kita cenderung tidak terlalu merasakan udara panas, justru merasa sangat sejuk, walaupun suhunya sangat panas. Bahkan jika kelembaban air di udara sangat tinggi, maka hal itu juga bisa menimbulkan potensi hujan sangat besar,” bebernya.
Dilanjutkan Sulam Khilmi, sama seperti yang dirasakan beberapa minggu terakhir ini, kondisi cuaca di Tarakan terasa panas, walaupun suhunya masih tetap di kisaran 32 derajat hingga 33 derajat. Tentu hal tesebut disebabkan karena kurangnya kelembaban air yang ada di udara.
“Untuk suhu di Tarakan maksimal hanya mencapai 33 derajat, namun jika terjadi kenaikan suhu yang mencapai angka 36 derajat, tentunya ini menjadi fenomena atau kenaikan suhu yang baru di Tarakan,” tutupnya. (agg)
Discussion about this post