SB, NUNUKAN – Ratusan warga adat dari dari 8 desa di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara turun ke jalan pada Senin, 26 Mei 2025, kemarin. Mereka melakukan demonstrasi masif sejak pagi hingga bisa bertemu pihak perusahaan, yakni PT Karangjuang Hijau Lestari (KHL). Aksi kolektif ini dipimpin oleh dua tokoh sentral masyarakat adat, yakni Kepala Adat Besar Basuat bin Batulis, bersama dengan Wakil Kepala Adat Besar Tulin Onsoi, Sibrianus Sati.
Dari informasi yang didapatkan media ini, dua tokoh adat tersebut memimpin unjuk rasa warga Desa Kalunsayan, Tembalang, Salang, Tinampak I, Tinampak II, Tau Baru, Balatikon, dan Naputi, yang secara serentak menyuarakan ketidakpuasan terhadap praktik-praktik perusahaan perkebunan yang dinilai mengabaikan hak-hak tradisional mereka.
Sibrianus Sati mengatakan,;latar belakang unjuk rasa yang mereka gelar bermula pada kasus tumpang tindih lahan, yakni PT KHL melalui surat Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah perusahaan yang secara sepihak mencaplok wilayah pemukiman, lahan garapan, dan bahkan areal pinggir jalan provinsi yang secara historis merupakan bagian integral dari wilayah adat Tulin Onsoi.
Selain itu, kata Sibrianus, mereka juga ingin menegaskan kembali tuntutan mereka terhadap hak-hak agraria yang terampas oleh klaim HGU PT KHL serta persoalan kemitraan dan skema plasma dengan PT Tirta Madu Sawit Jaya.
“Kami juga menyoroti kegagalan pihak Perusahaan dalam merealisasikan janji skema plasma yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga, namun hingga kini implementasinya dinilai jauh dari harapan,” ungkapnya.
Menurut Sibrianus, dalam proses pengadaan HGU oleh perusahaan terkait tanpa Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Dalam hal ini, perusahaan mengabaikan prinsip penting yang menegaskan hak masyarakat adat untuk memberikan atau menolak persetujuan atas setiap pengadaan yang berpotensi memengaruhi lahan, mata pencaharian dan lingkunga warga adat. Olehnya, PT KHL dinilai tidak transparan dalam pengelolaan skema plasma, mengindikasikan adanya praktik yang mengabaikan prinsip keadilan agraria dan hak asasi manusia.
Dampak sosial-ekonomi dari konflik semacam ini sangat signifikan, mencakup potensi hilangnya mata pencarian tradisional, degradasi lingkungan akibat monokultur, dan bahkan pergeseran kohesi sosial di dalam komunitas. Oleh karena itu, penyelesaian konflik harus melampaui dimensi hukum semata, merangkul aspek keadilan distributif, restoratif, dan keberlanjutan ekologis.
Insiden ini juga mengilustrasikan kompleksitas persoalan penguasaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia, di mana hak-hak konstitusional masyarakat adat kerap berhadapan dengan kepentingan investasi korporasi.
Sati –sapaan akrab Wakil Ketua Adat Besar Sungai Tulin ini– juga menegaskan, konflik agraria di Tulin Onsoi juga menyoroti peran krusial negara sebagai regulator dan penjamin hak-hak warga negara. Lambatnya respons atau keberpihakan terhadap kekuatan modal seringkali memperparah ketimpangan struktural, memaksa masyarakat untuk menggunakan jalan demonstrasi sebagai upaya terakhir untuk menarik perhatian publik dan tekanan politik.
“Kasus ini memerlukan intervensi serius dari pemerintah pusat dan daerah untuk memverifikasi ulang batas-batas HGU, mengevaluasi kembali skema plasma yang berjalan, dan secara fundamental mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat Tulin Onsoi. Tanpa pengakuan resmi terhadap wilayah adat, posisi tawar masyarakat dalam negosiasi seringkali melemah”, tegas Sati.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan dan pihak perusahaan diharapkan dapat segera merespons tuntutan masyarakat adat Tulin Onsoi secara konstruktif dan proporsional, demi mencegah eskalasi konflik yang lebih luas serta mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Aksi ini diawali dengan ritual memohon restu di makam Yaki Umbus yang merupakan Pangeran Pertama Masyarakat Adat Besar Sungai Tulin di Desa Kalunsayan, ritual ini juga menandai eskalasi konflik agraria yang telah berlarut-larut di wilayah tersebut. Tindakan masyarakat adat untuk memulai aksinya di Makam Leluhur bukanlah sekadar seremonial, melainkan sebuah manifestasi simbolis dari ikatan genealogis dan spiritual mereka dengan tanah.
“Ritual ini menegaskan bahwa perjuangan kami bukan hanya tentang aset material, melainkan juga tentang pelestarian identitas budaya, warisan leluhur, dan keberlanjutan hidup komunal di tengah tekanan modernisasi dan ekspansi industri”, pungkas Sati. (red)
Discussion about this post