SB, NUNUKAN – Meskipun telah diresmikan Presiden Joko Widodo Oktober 2024 lalu, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sebatik hingga saat ini belum difungsikan. Ironisnya lagi, bangunan megah di beranda perbatasan Indonesia-Malaysia yang menelan anggaran Rp 200 miliar itu justru bermasalah.
Informasinya, bangunan itu bermasalah dengan batas wilayah negara serumpun, Malaysia. Hal ini memantik perhatian Ketua Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nunukan Dr. Andi Muliyono SH. Dia mempertanyakan keseriusan negara mengatasi persoalan krusial ini. Bahkan, menurutnya, penggunaan anggaran negara tanpa manfaat yang optimal bisa masuk dalam kategori penyalahgunaan keuangan negara.
“Jika dilihat dari penggunaan anggaran itu masuk kategori korupsi. Kenapa saya mengatakan korupsi? Karena menggunakan uang negara yang tidak digunakan semaksimal mungkin. Itu bagian dari penyalahgunaan anggaran,” tegas Andi Muliyono SH MH kepada sejumlah media usai paripurna di kantor DPRD Nunukan belum lama ini.
Menurutnya, sumber utama persoalan ini adalah status hukum wilayah perbatasan laut dan daratan yang hingga saat ini masih bersengketa dengan Malaysia. Bahkan, sudah berlangsung lama namun belum mampu diselesaikan. “Kita tidak ingin bersengketa dengan negara tetangga. Tapi kita butuh kepastian hukum agar rakyat tenang dan bisa hidup sejahtera di tanah kelahirannya sendiri,” kata Andi Muliyono.
Untuk itu, lanjut Politisi Gerindra ini, Pemerintah Indonesia perlu segera menyelesaikan persoalan ini agar tidak terus merugikan masyarakat perbatasan. Diungkapkan, dari hasil monitoring yang dilakukan ada potensi sumber daya alam seperti bijih emas di daratan Sebatik.
Sementara di sisi lain, Malaysia terus menguatkan klaim dengan dalih sejarah kolonial Inggris. Padahal, Indonesia juga memiliki dasar historis dari penjajahan Belanda. “Namun sayangnya Indonesia belum maksimal dalam memperjuangkan kedaulatannya secara hukum internasional,” bebernya.
Menurutnya, ketidakjelasan batas negara membuat pemungutan pajak, retribusi, hingga pengawasan barang menjadi sulit dilakukan. Hal ini tentu saja berdampak langsung pada pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
“Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh lemahnya sikap pemerintah Indonesia dalam mempertahankan wilayahnya. “Bangsa ini memiliki banyak sumber daya manusia cerdas yang harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi hukum Indonesia di perbatasan. Jangan sampai kita dipermalukan lagi di forum internasional. Kita harus bersatu menjaga tanah air, sejengkal pun tidak boleh lepas,” tegasnya.
Ia pun berharap pemerintah pusat segera menindaklanjuti dengan serius masalah batas wilayah dan tidak hanya menjadikan perbatasan sebagai bahan kampanye atau simbol semata, Pulau Sebatik butuh kehadiran negara secara utuh, bukan hanya dalam bentuk pembangunan fisik, tapi juga dalam aspek hukum dan perlindungan rakyat.
“Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang berpihak dan langkah hukum yang tegas. Jangan biarkan perbatasan hanya menjadi simbol politik tanpa arti bagi rakyat,” pungkasnya. (dln)
Discussion about this post