SB, NUNUKAN – Polemik pemecatan dokter berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Nunukan tak hanya menjadi perbincangan hangat di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, tindakan tegas Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan melakukan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri itu juga menjadi pro kontra di tengah masyarakat.
Masyarakat menilai, saat wilayah perbatasan sangat membutuhkan tenaga dokter, justru 4 dokter, termasuk 2 dokter spesialis disanksi berat berupa pemecatan. Tak ingin Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan disalahkan, Bupati Nunukan H. Irwan Sabri pun angkat bicara. Ia mengatakan, keputusan pemberhentian dokter telah melalui mekanisme dan proses penanganan sesuai prosedur berlaku.
“Sebelum dipecat, sudah ada tahapan dilakukan. Bahkan, prosesnya itu dilakukan sejak 2021 hingga 2022 di zaman bupati terdahulu. Termasuk ada pemanggilan kepada dokter melalui (surat peringatan) SP1, SP2 dan SP3,” jelas Irwan Sabri.
Mengenai usulan menerima kembali dan membatalkan pemecatan itu, lanjutnya, tentu ada prosedur dan mekanisme. Sebab, putusan yang dikeluarkan merupakan hasil dari pertimbangan Badan Kepegwaian Negara (BKN) berdasarkan apa dilaporkan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan.
“Saya sebagai bupati hanya menjalankan perintah BKN saja,” ujarnya.
Namun, saran Irwan, jika dokter tersebut merasa keberatan dengan sanksi pemecatan yang diterima, mereka dapat menempuh jalur hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Jika ternyata proses itu (PTUN) bisa menggugurkan SK pemecatan yang sudah diterbitkan dan mengembalikan hak-hak yang seharusnya menjadi milik mereka, ya Pemkab Nunukan bersedia menerima mereka kembali,” tegasnya.
Membaca berita sebelumnya, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nunukan dr Sholeh Sp. A tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya usai mengetahui 4 dokter Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Nunukan dipecat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan. Sholeh menyebut, keberadaan dokter, khususnya dokter spesialis merupakan aset berharga yang seharusnya dimiliki daerah wilayah perbatasan yang notabene termasuk kategori 3 T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) sehingga sangat disayangkan bila 4 dokter sebut harus mengalami pemecatan.
“Kami (IDI) merasa prihatin juga. Ketika sedang kekurangan dokter, justru kita mendapatkan berita di media jika ada 4 dokter yang dipecat,” ungkap Sholeh saat menyampaikan tanggapannya di hadapan sejumlah anggota DPRD Nunukan, kemarin.
Tentunya, lanjut Sholeh, kejadian ini menjadi preseden buruk bagi Pemkab Nunukan di mata para dokter baru dan yang ingin mengabdi di Kabupaten Nunukan. Sebab, tak hanya dokter umum saja, dokter spesialis pun dipecat. “Ini kan salah satu bentuk kebijakan pengabaian terhadap aset daerah,” nilainya.
Disebutkan Sholeh, jumlah dokter yang terdaftar di IDI Nunukan saat ini sekitar 104 orang. Dokter spesialis berjumlah 204 orang, selebihnya berstatus ASN dan bekerja di perusahaan swasta. Dokter ini kemudian tersebar di 4 rumah sakit di Kabupaten Nunukan, yakni RSUD Nunukan dan 3 rumah sakit pratama di Kecamatan Sebuku, Kecamatan Sebatik dan Kecamatan Krayan.
Dibeberkan Sholeh, diantara 4 dokter yang dipecat, dua diantaranya masih dalam masa pendidikan spesialis ketika diberhentikan. Padahal, keduanya memiliki rekam jejak pengabdian yang kuat dan beroperasi di wilayah-wilayah pelosok Nunukan.
Bukan hanya tahun ini, 2 tahun yang lalu pun salah satu dokter yang juga anggota IDI juga dipecat. Dia adalah dokter spesialis mikrobiologi. Padahal dokter tersebut pernah tugas di wilayah pedalaman Nunukan. Dan, dokter tersebut sangat dibutuh.
“Seperti dr. Yuanti ini. Beliau pernah bertugas di Desa Mansalong. Ia tinggal di sana, membesarkan anak seorang diri, dan tetap menjalankan tugas medis meski menghadapi intimidasi saat menangani kasus DBD,” ungkapnya.
“Bertugas siang malam mempertaruhkan keselamatan seorang diri karena suaminya di Papua. Tapi dia malah dipecat, ini cukup mengagetkan kami,” sambungnya.
Selain itu, IDI juga menilai, proses mendapatkan izin belajar dari Pemkab Nunukan sangat sulit bagi dokter daerah. Kesempatan sering tertutup, bahkan ada yang menyampaikan secara emosional bahwa mereka rela melakukan apa saja demi dapat rekomendasi.
“Sampai keluar bahasa para dokter ‘kalau seandainya kami boleh menggosok sepatunya (pejabat), kami rela’. Itu bahasa mereka, yang menggambarkan sulitnya dapat izin sekolah,” beber Sholeh.
Meskipun tak memiliki kewenangan dalam mengambil kebijakan, organisasi IDI merupakan tempat berkumpulnya para dokter. Sehingga, segala masalah dan persoalan yang dihadapi akan diketahui. Salah satunya mengenai ketimpangan dalam mendapatkan izin sekolah. Karena sebagian dokter mendapat izin sekolah dengan mudah, sementara yang lain tidak.
“Banyak dokter yang merasa bahwa kami tidak diberikan ruang untuk mendapatkan rekomendasi sekolah. Sebab, kesempatan melanjutkan pendidikan spesialis itu susah. Lewat satu bulan, 35 tahun otomatis jatuh, ya sementara setiap universitas menerima setiap prodi itu hanya sedikit,” bebernya.
Untuk itu, lanjutnya, IDI meminta agar pemerintah daerah dapat mempertimbangan pemberhentian dr Yuanti dengan melihat rekam jejak pengabdiannya selama ini. “Tolonglah dibantu. Dan, kedepannya agar dibuatkan grand design bagaimana caranya mengolah semua teman-teman dokter ini untuk bisa sekolah sesuai tahapan-tahapannya. Apalagi Nunukan memiliki 4 rumah sakit yang butuh dokter spesialis. Khususnya spesialis paru. Apalagi ada dokter yang ingin tetap mengabdi di Nunukan ini. Jadi, kalau bukan anak daerah-daerah yang ada di sini dan memang ada niatnya mau kembali kenapa bukan itu yang kita bina. Kenapa bukan dipertahankan,” pungkasnya. (dln)
Discussion about this post