SB, TARAKAN – Persoalan lahan antara warga dan pemilik serfikat prada di sejumlah RT di Kelurahan Pantai Amal belum juga menemui kata selesai. Sejumlah warga pun menguak adanya kejanggalan yang menarik dibahas, diantaranya soal lawan sengketa dan biaya sertifikat warga.
Diungkapkan seorang warga pemilik sertifikat yang bersengketa, sejauh ini tanah mereka memang sedang bermasalah dengan Jaka Prada. Oleh warga sekitar, Jaka Prada adalah organisasi tempat berkumpulnya para pensiunan pejabat, seperti mantan Anggota DPRD.
“Djaka Prada itu kumpulan-kumpulan mantan DPR yang terhimpun dalam organisasi Djaka Prada. Jadi, Djaka Prada itu organisasi seperti ormas-ormas yang ada,” ungkap warga berinisial A tersebut.
Padahal, lawan sengketa mereka bukan organisasi, melainkan pemilik sertifikat prada. Sertifikat prada sendiri merupakan dokumen kepemilikan tanah yang diterbitkan oleh pemerintah saat Kota Tarakan masih berstatus kecamatan di bawah Kabupaten Bulungan. Dokumen ini diserahkan kepada pejabat daerah atau pensiunan negara, termasuk mantan Anggota DPRD sebagai bentuk apresiasi pemerintah kepada mereka.
Menariknya, lahan bersertifikat prada itu sudah dihuni dan di kelola warga sejak puluhan tahun silam. Jauh sebelum sertifikat itu muncul. “Cuman, yang jadi persoalan itu, kan letaknya (lahan pemilik sertifikat prada) juga salah. Kemudian di tempat kami, dari dulu itu Desa Kampung Empat, sedangkan di sertifikatnya itu kan Desa Kampung Enam, baru (lalu) pantai Juwata,” ungkap A yang diamini rekan-rekannya.
Warga juga mengaku telah mengetahui salah satu pemilik sertifikat prada setelah mengikuti rapat dengan pihak terkait sebanyak 4 kali. Salah satu nama yang muncul adalah Datu Baharuddin. “Dia adalah orang yang memiliki sertifikat Djaka Prada,” jelas pria yang enggan disebutkan namanya itu kepada suryaborneo.com.
Bahkan, lanjutnya, selama ini tidak ada pengukuran lahan di lokasi tempatnya tinggal. “Sedangkan kita tahu, ketika mau urus surat itu harus diukur dulu kan, dipatok dulu. Itu (proses pengukuran dan pemasangan patok) nggak ada. Dan memang di tahun 1975 itu, waktu buka lahan memang hutan di situ, hutan belantara,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, warga juga sempat mendengar informasi soal dugaan pungutan liar terkait pembuatan sertifikat tanah. Bahkan ada yang memperlihatkan kwitansi pembayaran Rp2 juta per sertifikat yang diduga melibatkan oknum pegawan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Tarakan.
Mirisnya, dari 40 warga yang kabarnya menyetor sejumlah uang hanya sebagian saja yang terbit surat tanahnya. Selebihnya hanya gigit jari dan menunggu informasi selanjutnya. Atas informasi ini, Kasi Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Kota Tarakan, Wahyu langsung membantahnya. Dia menyebut, perbuatan itu hanya dilakukan oleh oknum tertentu.
“Kalau ada dapat (pungutan liar) seperti itu, itu hanya oknum. Pembayaran memang ada, itu senilai Rp250.000 (PTSL Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap),” jelas Wahyu.
Wahyu pun meminta agar warga segera mengadukan ke BPN Kota Tarakan jika ada tindakan yang diduga tidak melalui prosedur yang berlaku. “Tindakan seperti itu segera lapor ke bagian pengaduan di BPN. Agar oknum seperti ini tidak sewenang-wenang menggunakan nama BPN,” tegasnya. (sdq)
Discussion about this post