SB, TARAKAN – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan pemerintah pusat dan daerah menggratiskan biaya pendidikan dasar dan menengah pertama, baik di sekolah negeri maupun swasta, mulai menuai respons dari berbagai kalangan. Di kalangan sekolah swasta, wacana ini menjadi perhatian serius karena menyangkut keberlangsungan pendanaan operasional.
Di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, sejumlah pengelola sekolah swasta menyampaikan pandangannya terhadap kebijakan tersebut. Salah satunya datang dari SDIT Ulul Albab yang beralamat di Jalan Sei Sesayap RT 1 No 13, Kecamatan Tarakan Timur.
Kepala SDIT Ulul Albab, Ahmad Mukmin Wahyu, mengungkapkan bahwa wacana penggratisan sekolah di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama, termasuk di sekolah swasta, perlu dikaji secara matang oleh pemerintah.
“Pasalnya sumber utama pengelolaan itu, bergantung pada Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Jika kebijakan tersebut direalisasikan, pastinya ada kerugian besar yang akan dialami dari sekolah swasta,” ujar Ahmad.
Ia menjelaskan bahwa mayoritas sekolah swasta, termasuk SDIT Ulul Albab, menggantungkan seluruh biaya operasionalnya dari iuran yang dikumpulkan setiap bulan dari orang tua murid.
“Jadi pengelolaannya ya, kami 100 persen dari dana itu,” sambungnya.
Iuran inilah yang selama ini digunakan untuk menggaji guru, membiayai kegiatan belajar mengajar, hingga mendukung fasilitas sekolah. Oleh sebab itu, Ahmad berharap pemerintah turut melibatkan pihak sekolah swasta dalam penyusunan kebijakan dan penyediaan anggaran jika kebijakan sekolah gratis benar-benar akan diterapkan secara menyeluruh.
“Selama ini dana operasional swasta berasal dari iuran orang tua siswa alias untuk anggaran dari orang tua siswa yakni dalam bentuk SPP,” tuturnya.
Sebagai gambaran, SDIT Ulul Albab saat ini memiliki jumlah peserta didik sebanyak 677 siswa dan didukung oleh 63 guru. Untuk iuran bulanan atau SPP, orang tua membayar sebesar Rp500 ribu per anak, belum termasuk biaya katering. Selain itu, terdapat juga uang pembangunan yang besarannya berkisar antara Rp10 juta hingga Rp12 juta per siswa.
Terkait kemungkinan adanya subsidi dari pemerintah sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan sekolah gratis di sekolah swasta, Ahmad menyatakan pihaknya bersikap terbuka selama hal tersebut sesuai dengan harapan dan kebutuhan sekolah.
“Tapi kalau pemerintah kurang mampu mengakomodir itu mungkin bisa dikaji ulang. Sehingga tadi itu programnya mudah-mudahan bisa jalan semuanya. Salah satunya tidak mengurangi program dari SD. Jadi sampai saat ini belum diterapkan sekolah gratis,” pungkasnya.
Ahmad juga menambahkan, meskipun selama ini sekolahnya mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP), dana tersebut masih bersifat pelengkap dan tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan operasional sekolah.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Ahmad Mukmin Wahyu menekankan pentingnya keterlibatan aktif sekolah swasta dalam penyusunan perencanaan kebijakan sekolah gratis.
“Agar tidak menimbulkan dampak negatif, baik terhadap keberlangsungan pendidikan maupun terhadap para tenaga pendidik di sekolah-sekolah swasta,” tutupnya. (Sdq)
Discussion about this post