Oleh: Ketua Umum HMI Cabang Tarakan Masaude
Air adalah sumber kehidupan dan hak dasar rakyat yang dijamin konstitusi, bukan komoditas dagang belaka. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun, di Tarakan, air justru berubah menjadi sumber skandal. PDAM Tirta Alam Tarakan hari ini menghadirkan potret buram tata kelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), mulai dari kebocoran, pencurian, hingga kebijakan tarif yang membebani rakyat kecil.
Pada 3 Juni 2025, Direktur Utama PDAM Tarakan, Iwan Setiawan, mengakui bahwa kerugian akibat pencurian dan kebocoran air mencapai Rp9,8 miliar per tahun. Lebih mengejutkan, pelakunya tidak hanya masyarakat biasa, tetapi juga melibatkan tokoh masyarakat, pengusaha, bahkan pejabat. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menegaskan bahwa setiap BUMD wajib dikelola secara profesional, transparan, akuntabel, dan berlandaskan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Mengabaikan tindak pidana pencurian air senilai miliaran rupiah jelas melanggar prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Lebih jauh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 362 mengatur bahwa pencurian adalah tindak pidana. Jika pelakunya adalah pejabat, hal ini dapat dikategorikan sebagai abuse of power yang semestinya ditindak tegas, bukan hanya ditegur.
Pada Agustus 2025, PDAM kembali membuat gaduh dengan kebijakan kenaikan tarif abonemen dari Rp10.500 menjadi Rp26.000 per bulan. Alasan yang dikemukakan adalah penggantian meteran dan perbaikan kebocoran. Logika kebijakan ini terbalik: PDAM yang rugi miliaran rupiah akibat pencurian air oleh oknum elit, justru membebankan solusinya kepada rakyat kecil. Rp26.000 per bulan mungkin dianggap remeh bagi pejabat atau pengusaha, tetapi bagi warga miskin, angka itu berarti pengurangan nyata dari anggaran belanja harian.
Di tengah kekacauan publik akhirnya memaksa pemerintah daerah bertindak. Pada 13 September 2025, Wali Kota Khairul, selaku Kuasa Pemilik Modal (KPM), membatalkan kebijakan kenaikan tarif tersebut. Direktur PDAM pun menjelaskan bahwa penghentian kebijakan dilakukan atas perintah KPM. Situasi ini mengungkap persoalan mendasar: seandainya Wali Kota tidak responsif, sangat mungkin Direktur PDAM tetap memaksakan kebijakan kenaikan tarif, seolah menafikan suara rakyat yang menolak.
Selanjutnya, publik berhak bertanya: berapa total dana abonemen yang telah dikumpulkan PDAM selama ini? Untuk apa saja dana itu digunakan? Apakah benar dialokasikan sepenuhnya untuk perawatan meteran dan pipa? Mengapa tidak ada laporan audit independen yang dibuka untuk publik? Tanpa jawaban yang jujur dan transparan, kebijakan apa pun dari PDAM hanya akan memperdalam krisis kepercayaan.
Direktur PDAM Tarakan bukan hanya gagal mengelola perusahaan daerah dengan bijak, tetapi juga gagal memahami air sebagai hak dasar rakyat. Karena itu, pencopotannya bukan lagi sekadar pilihan, melainkan keniscayaan. Skandal pencurian air yang merugikan miliaran rupiah, kenaikan tarif abonemen yang membebani rakyat, serta minimnya transparansi dana merupakan bukti rapuhnya tata kelola BUMD ketika akuntabilitas diabaikan. Jika Wali Kota benar-benar berpihak kepada rakyat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencopot Direktur PDAM dari jabatannya dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu, agar rakyat kecil tidak terus menjadi korban.
Discussion about this post