SB, TARAKAN – PT Surya Borneo Media Telekomunikasi menggelar diskusi terkait dengan tarik ulur kebijakan penangkapan ikan di wilayah Kalimantan Utara (Kaltara).
Diskusi yang digelar di kantor PT Surya Borneo Media Telekomunikasi, Jalan Mulawarman RT 24, Kelurahan Karang Anyar Pantai, Kecamatan Tarakan Barat, Kota Tarakan, menghadirkan tiga panelis, yakni Sinar Mappanganro sebagai lawyer atau pengacara dari kantor Syamsuddin Associates, Ainulyansyah Nurdin sebagai Ketua DPD IMM Kaltara dan Rakhmat Sewa sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltara.
Selain menghadirkan tiga Panelis, turut hadir Narasumber dalam diskusi tersebut Pengawas Perikanan PSDKP Tarakan, Nanda Otremoles, Kepala BPOM Tarakan, Herianto Baan, Ketua Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kaltara, Rustan, tokoh masyarakat dan masyarakat umum.
Lawyer dari Syamsuddin Associates, Sinar Mappanganro mengatakan, diskusi tersebut sangatlah penting mengingat terdapat banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha pengangkut ikan, salah satunya adalah syarat surat izin kesehatan ikan yang dianggap merupakan syarat yang paling berat.
Hal itu, kata dia, dikarenakan untuk mendapatkan surat tersebut, Pemerintah Malaysia memberikan syarat adanya izin ekspor-impor.
“Dalam hal ini nelayan jika ingin mendapatkan izin kesehatan Tawau-Malaysia, harus mendapatkan izin ekspor-impor dulu,” kata Sinar.
Lantas, Sinar menjelaskan, yang menjadi persoalan adalah ketika pemerintah kita dalam hal ini pemerintah provinsi ataupun pemerintah kota tidak mampu memberikan fasilitas (izin ekspor-impor).
Untuk mendapatkan izin itu, ada syarat-syarat lagi yang harus dipenuhi diantaranya adalah pelabuhan kapal yang harus memenuhi standar.
“Sampai hari ini hai tersebut tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah kita. Sedangkan kita melihat kebutuhan masyarakat kita yang konsumtif terhadap ikan,” ujarnya.
“Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana pemerintah ini memberikan peluang kepada masyarakat, atau pengusaha pengangkut ikan agar usaha ekspor-impor yang dilakukan itu tidak tidak terkendala dengan izin kesehatan ikan,” sambungnya.
Sementara, Anggota DPRD Kaltara, Rakhmat Sewa mengatakan, fungsi kehadiran DPRD sangat jelas dalam kegiatan diskusi tersebut, yakni sebagai penyambung lidah masyarakat.
Ketika aktifitas masyarakat dalam hal mata pencaharian. Regulasi yang dibuat di kabupaten-kota harus memiliki kepastian hukum.
Rakhmat menerangkan, dari informasi yang diterimanya, ada regulasi kabupaten-kota yang dibuat namun tidak pro kepada masyarakat dan bahkan merugikan.
“Kami sebagai anggota DPRD menolak hal yang seperti itu. Pernah saya sampaikan bahwa peraturan penangkapan ikan itu tidak sama di seluruh daerah. Ada kearifan lokal yang dimasukkan berdasarkan historis daerah,” katanya.
Menurutnya, Kaltara merupakan wilayah perairan dan berbatasan dengan Malaysia. Sehingga kebutuhan masyarakat perlu diprioritaskan dan pelaku nelayan yang bekerja disitu yang dipersulit. Sehingga regulasi harus diubah.
Ditambahkan Ketua DPD IMM Kaltara, Ainulyansyah Nurdin, beberapa persoalan yang terjadi beberapa waktu belakangan khusunya yang terjadi pada sektor perikanan di wilayah Kaltara merupakan kejadian yang sudah terjadi sejak dulu hingga sekarang.
Namun terkadang kita menganggap hal tersebut merupakan hal biasa karena sudah umum terjadi di wilayah Kaltara.
Menurutnya, jika dipikir, persoalan yang sedang akan dibahas bukanlah merupakan persoalan yang hanya menyangkut ke daerah namun merupakan persoalan internasional karena berbicara negara tetangga.
“Hanya saja yang perlu saya sampaikan bahwa harus diketahui kita bersama. Kita terkadang khususnya pejabat publik merasa hal yang seperti ini adalah hal yang remeh karena sudah terbiasa terjadi dan pasti akan selesai, padahal tidak demikian,” jelasnya.
Ainulyansyah juga mengatakan, berkaca pada kasus yang baru-baru saja terjadi pada 8 Oktober 2024 lalu. Ada pemberitaan terkait penangkapan kapal ikan yang dilakukan oleh PSDKP Kota Tarakan kepada kapal ikan dari Tawau ke Nunukan. Dan penangkapan dilakukan lantaran tidak adanya sertifikat kesehatan.
“Sementara berdasarkan keterangan yang bersangkutan di dalam berita tersebut, bawah sejak tahun 1999 telah melakukan kerja-kerja yang sama tidak pernah mendengar soal sertifikat kesehatan. Kenapa di tahun 2024 yang bersangkutan ditangkap karena tidak adanya sertifikat kesehatan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ainulyansyah mengungkapkan, dirinya yang objektif sebagai mahasiswa melihat hal tersebut berdasarkan pernyataan PSDKP, bahwa berdasarkan regulasi sertifikat kesehatan itu bagian dari SOP yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
“Inikan ada tumpang tindih, siapa yang benar siapa yang salah? Di dalam negara demokrasi khusunya Indonesia, tidak mungkin kita menyalahkan rakyat,” ungkapnya.
“Kok justru ada regulasi yang menyusahkan masyarakat?,” lanjutnya.
Ainulyansyah pun mempertanyakan hal tersebut apakah dikarenakan kurangnya sosialisasi oleh pihak PSDKP. Sehingga menurutnya hal tersebut perlu lebih diperjelas lagi. (SB)
Discussion about this post