SB, TARAKAN – Kasus dugaan penyerobotan lahan yang luasnya hingga 10 hektar oleh PT Phoenix Resources Internasional (PRI) dan PT Tarakan Chipp Mill TCM yang sempat ramai dibahas belakangan ini, masih terus bergulir. Terakhir, kasus ini sampai pada tahap rencana peninjauan lapangan yang akan dilakukan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Kalimantan Utara (Kaltara). Namun sayang, peninjauan lahan yang dijadwalkan pada Kamis (5/6/2025) lalu itu tiba-tiba kembali batal dilakukan.
Informasi pembatalan mendadak ini tentu saja memantik kecewa pihak pelapor. Pasalnya, sudah sering kasus ini diminta untuk ditinjau ulang, namun tak kunjung terlaksana. Mereka pun menduga, ada upaya untuk menghindari kasus ini dan pihak terkait tidak transparan soal kepemilikan lahan yang disengketakan.
“Kami sangat keberatan. Pembatalan ini menimbulkan tanda tanya besar. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin disembunyikan dari publik maupun penyidik,” ujar penasihat hukum pelapor, Abdul Rahman saat dikonfirmasi wartawan.
Dijelaskan Rahman, pembatalan itu diduga dilakukan setelah PT PRI dan PT TCM mengajukan permohonan keberatan kepada Polda Kaltara apabila lahannya dijadikan objek peninjauan. Sementara kliennya, kata Rahman, hanya ingin membuktikan kepemilikan secara hukum dan fisik. Ditambah lagi, lahan yang disengketakan luasnya tidak sedikit untuk diabaikan.
Rahman pun membeberkan, lahan yang disengketakan awalnya dimiliki oleh seorang perempuan bernama Fadaya sejak tahun 1988. Luas totalnya mencapai 10 hektar, terdiri dari 3 hektar tambak dan 7 hektar tanah kosong. Dalam rentang 1990–1991, kata Rahman, Fadaya menjual sebagian lahannya kepada Edi Tamrin. Proses penjualan itu dalam bentuk empat surat terpisah.
Namun, kata dia, masalah muncul ketika di tahun 1999–2001, Fadaya kembali menjual seluruh lahan 10 hektar itu kepada seorang warga bernama Haji Sahariyah, yang kemudian menjualnya ke PT TCM pada 2007. Anehnya, di tahun yang sama, Edi Tamrin juga menjual lahan yang sama seluas 7 hektar ke perusahaan yang sama.
“Akhirnya, PT Chip Mill mengklaim 17 hektar dari lahan yang secara fisik hanya ada 10 hektar. Ini yang tidak masuk akal dan berpotensi kuat melanggar hukum,” ujar Rahman.
Lebih lanjut, Rahman mengungkap adanya kejanggalan dalam batas-batas surat yang diklaim PT TCM. Dalam salah satu dokumen milik Edi Tamrin, batas utara lahan disebutkan berbatasan dengan milik Baharudin. Namun, lahan yang diklaim PT TCM ternyata dibeli dari seseorang bernama Julius Tombi, yang seharusnya berada di sebelah kanan lahan milik pelapor.
“Jika mereka membeli dari Julius Tombi, artinya mereka mengakui posisi lahannya tumpang tindih dengan milik klien kami,” ungkap Rahman.
Sementara itu, pihak pelapor menyatakan bahwa kliennya memiliki bukti kepemilikan sah atas lahan yang kini telah berdiri bangunan fisik. Lahan tersebut diperoleh melalui pembelian dari Asri, Feri, dan Maya dengan dokumen lengkap dan batas yang sesuai. Perkara ini bahkan telah dilaporkan secara resmi ke pihak kepolisian sejak dua bulan lalu. Namun hingga saat ini, belum ada peninjauan ulang di lokasi. Penundaan demi penundaan ini dinilai sangat merugikan pelapor.
“Kalau mereka yakin punya bukti kepemilikan sah, kenapa takut untuk uji lokasi? Ini semakin menguatkan kecurigaan kami bahwa memang telah terjadi penyerobotan,” tegas Rahman.
Penyidik disebut sudah berjanji akan menjadwalkan ulang peninjauan, namun belum memberikan kepastian kapan proses itu akan dilaksanakan. Pihak pelapor mendesak agar proses hukum berjalan adil dan tidak terkesan melindungi pihak tertentu. (rz)
Discussion about this post