Oleh: Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
SB, TARAKAN – Wahai jiwa yang lelah dalam perjalanan, pernahkah engkau berhenti sejenak? Melepaskan dahaga ambisi, meletakkan beban pikiran, lalu bertanya pada diri: Apa tujuan akhir dari semua ini?
Dunia ini memesona, seperti fatamorgana yang tampak menjanjikan, tetapi saat dikejar hanya menyisakan pasir kosong. Seperti seorang musafir yang menyangka melihat genangan air di tengah padang tandus, tetapi ternyata itu hanya ilusi. Begitulah kehidupan yang dipenuhi ambisi tanpa batas—semakin dikejar, semakin haus, seperti meminum air laut yang justru menambah dahaga.
Ramadan datang sebagai oase, menawarkan kesempatan bagi jiwa untuk berhenti, menghela napas, dan menata ulang arah perjalanan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati” (HR. Bukhari & Muslim).
Iri dan Dengki: Penyakit Hati yang Menghancurkan
Di sebuah kota, ada dua sahabat yang memulai usaha bersama. Salah satu dari mereka, sebut saja Fulan, berkembang lebih pesat. Kejujuran dan kerja kerasnya membuat bisnisnya maju dan dihormati banyak orang.
Namun, sahabatnya yang lain justru merasa iri. Alih-alih berusaha lebih giat, ia malah mencari cara menjatuhkan Fulan. Ia menyebarkan fitnah, menanam rasa curiga di antara pelanggan, bahkan berusaha menggagalkan usaha Fulan. Ia berpikir, jika Fulan jatuh, maka ia akan naik.
Namun, Allah Maha Adil. Perlahan, kebusukan niatnya terbongkar. Kepercayaan orang kepadanya runtuh, sementara Fulan tetap tegak dalam kejujuran. Dengki yang ia pelihara justru menghancurkan dirinya sendiri.
Iri dan dengki adalah penyakit yang membakar kebaikan seseorang. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Waspadalah terhadap hasad (dengki), karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” (HR. Abu Dawud).
Ramadan mengajarkan kita untuk menundukkan hawa nafsu, termasuk iri dan dengki. Jika hati dipenuhi kecemburuan terhadap keberhasilan orang lain, maka Ramadan adalah waktu terbaik untuk membersihkannya dengan ketakwaan dan keikhlasan.
Ramadan: Saatnya Menghentikan Laju, Menata Kembali Hati
Dalam dunia medis, tubuh manusia memiliki mekanisme homeostasis, yaitu kemampuan menyeimbangkan diri agar tetap sehat. Jika terus dipaksa bekerja tanpa jeda, tubuh akan rusak. Begitu pula hati dan jiwa. Jika terlalu dipenuhi ambisi dunia tanpa perenungan, ia akan kehilangan arah.
Di sinilah I’tikaf menjadi terapi spiritual. Rasulullah ﷺ, meski sebagai pemimpin negara, tetap menyempatkan diri untuk menyendiri di masjid, merenungi kehidupan, dan mendekatkan diri kepada Allah di sepuluh malam terakhir Ramadan.
I’tikaf adalah mental detoxification—membersihkan hati dari kotoran duniawi, menenangkan pikiran, dan menemukan kembali makna hidup yang sejati. Sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama dan pemimpin besar Islam, yang dalam kesunyian justru menemukan kekuatan.
Belajar dari Umar bin Abdul Aziz: Kekuasaan yang Menjadi Cahaya
Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin yang mengubah kekuasaan menjadi ladang amal. Ketika diangkat sebagai khalifah, ia menangis. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab:
“Aku takut amanah ini akan menjerumuskanku ke dalam api neraka.”
Beliau hidup sederhana, meskipun mampu hidup dalam kemewahan. Dalam dua setengah tahun kepemimpinannya, keadilan tegak, kesejahteraan merata, hingga hampir tidak ada orang miskin yang layak menerima zakat.
Apa rahasianya? Ia tidak membiarkan kekuasaan menguasai hatinya.
Di Kalimantan Utara, tantangan pembangunan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tetapi bagaimana memastikan kesejahteraan yang berkeadilan. Jangan sampai kita jatuh dalam resource curse—di mana daerah yang kaya sumber daya justru mengalami ketimpangan sosial akibat tata kelola yang tidak berlandaskan nilai-nilai moral dan spiritual.
Berhenti Sejenak: Membangun Kesadaran Baru
Maka, wahai saudaraku, berhentilah sejenak. Ramadan mengajarkan kita untuk menata ulang kehidupan:
Jika selama ini kita terlalu sibuk mengejar dunia, kini saatnya lebih mendekat kepada Allah.
Jika selama ini kita lalai dalam ibadah, kini saatnya kembali merasakan nikmatnya sujud dan dzikir.
Jika selama ini kita sibuk menilai orang lain, kini saatnya bercermin dan memperbaiki diri.
Allah berfirman:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk khusyuk hati mereka dalam mengingat Allah?” (QS. Al-Hadid: 16).
Ramadan bukan sekadar ritual, tetapi momentum perubahan. Setelah sebulan berlatih mengendalikan diri, apakah kita akan kembali ke kebiasaan lama? Ataukah kita menjadi manusia baru dengan hati yang lebih bersih, niat yang lebih ikhlas, dan semangat yang lebih kuat untuk membangun peradaban?
Berhenti sejenak bukan berarti menyerah. Berhenti sejenak adalah cara untuk memastikan bahwa kita berjalan ke arah yang benar.
Allahu a’lamu bis-shawab.
Discussion about this post