SB, NUNUKAN — Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Nunukan menyampaikan dengan tegas bahwa polemik masuknya pupuk ilegal asal Malaysia tidak dapat diposisikan secara serupa dengan Barang Kebutuhan Pokok (Bapok) seperti gula, minyak goreng, tepung terigu, maupun tabung gas. Pupuk dikategorikan secara khusus sebagai sarana produksi pertanian dan tunduk pada tata kelola serta regulasi yang jauh lebih ketat.
Menurut Ketua Bidang-V BPC HIPMI Nunukan, Sahrullah, masih terdapat kekeliruan dalam cara sebagian pihak melihat persoalan peredaran pupuk ilegal. Ia menyoroti adanya upaya menyamakan posisi pupuk dengan Bapok yang secara sosial dan historis telah diperdagangkan terbatas dalam mekanisme lintas batas.
“Kami tegaskan bahwa pupuk bukan barang konsumsi rumah tangga. Pupuk adalah komoditas strategis yang diawasi ketat karena berpengaruh langsung pada produktivitas pertanian nasional. Regulasi dan perlakuannya jelas berbeda secara hukum, teknis, dan kelembagaan,” tegas Sahrullah, Senin (1/7/2025).
Dijelaskan Sahrullah, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian dan peraturan teknis lainnya, pupuk dikategorikan sebagai sarana produksi pertanian yang wajib memiliki izin edar dari Kementerian Pertanian RI. Pupuk juga harus melewati proses karantina dan pengawasan mutu dan harus terdaftar dalam sistem distribusi nasional, baik subsidi maupun nonsubsidi
Sebaliknya, jelas Sahrullah, barang kebutuhan pokok seperti gula pasir, tepung terigu, dan LPG terbatas dapat masuk ke wilayah perbatasan melalui mekanisme perdagangan terbatas berdasarkan Border Trade Agreement (BTA) dan forum kerja sama bilateral Sosek Malindo. BTA yang diperbarui pada 8 Juni 2023 antara Indonesia dan Malaysia secara eksplisit tidak mencantumkan pupuk dalam daftar barang lintas batas yang diperbolehkan.
“Pupuk tidak masuk daftar BTA karena posisinya sebagai sarana produksi, bukan konsumsi. Masuknya pupuk Malaysia ke Indonesia tanpa izin bukan semata pelanggaran teknis, melainkan tindakan yang bertentangan dengan sistem perdagangan nasional dan komitmen bilateral dalam kerangka Sosek Malindo,” tambah Sahrullah.
Sahrullah juga mengingatkan bahwa pupuk asal Malaysia yang masuk tanpa prosedur resmi melanggar berbagai regulasi, antara lain Undang-undang (UU) nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, UU nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan UU nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.
Dengan tidak tercantumnya pupuk dalam skema BTA, kata Sahrullah, maka barang tersebut tidak mendapatkan toleransi lintas batas sebagaimana Bapok yang memang telah dijalankan sejak puluhan tahun lalu dalam ruang sosial-ekonomi yang berbeda.
Lebih jauh dijelaskan, masuknya pupuk ilegal tidak hanya merugikan sistem distribusi nasional, tetapi juga menciptakan ketimpangan kompetisi bagi pelaku usaha yang telah memenuhi kewajiban perizinan dan perpajakan. HIPMI Nunukan mendorong agar pemerintah daerah dan pusat memperkuat pengawasan, pembinaan, serta penyuluhan terhadap masyarakat, sekaligus mempercepat penguatan distribusi legal melalui koperasi Merah Putih dan jalur resmi lainnya.
“Kita tidak bisa membiarkan batas-batas hukum kabur hanya karena tekanan kebutuhan. Ada ruang diplomasi untuk Bapok, tetapi untuk pupuk, jalurnya adalah regulasi produksi nasional, bukan dispensasi perbatasan,” tutup Sahrullah. (red)
Discussion about this post