SB, BULUNGAN – Suku Punan Batu Benau baru-baru ini menerima penghargaan Kalpataru atas dedikasi dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2024 lalu.
Diketahui, kelompok Punan Sajau Batu Benau masih menerapkan gaya hidup manusia purba, yakni berburu dan meramu.Komunitas ini hidup di hulu sungai Sajau, RT 11, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara, dengan jumlah 35 kepala keluarga (KK) dan dihuni 106 jiwa.
Untuk menempuh pemukiman punan batu, dibutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit menggunakan sarana perahu dengan medan yang ekstrim.
Ironisnya, ditengah komitmen menjaga hutan tetap lestari dan berkelanjutan, pembukaan lahan baru di hutan justu semakin merajalela oleh pihak yang tak bertangung jawab.
Pendamping dan pembina suku Punan Batu Benau, Datu Karim, mengungkapkan kekecewaannya atas situasi tersebut. Ia berulang kali menyampaikan masalah perambahan hutan di berbagai forum, namun belum ada tindakan berarti yang diambil pihak berwenang.
“Kami menjaga hutan, tapi kami tidak punya daya untuk memperjuangkan hak kami,” ujar Datu Karim.
Masyarakat Punan Batu Benau yang hidup bergantung pada alam (hutan) dengan pola berburu dan meramu, kini merasa terancam akibat perambahan lahan yang masif.
Dengan kondisi tersebut masyarakat Punan Batu Benau pun khawatir akan keberlangsungan hidup anak cucu mereka di kemudian hari.
“Suku Punan mulai gelisah dengan perambahan hutan, namun sebagai pendamping mereka berusaha menenangkan mereka,” ucap Datu Karim.
Lantas, ia juga menerangkan, sebagian anggota suku Punan mulai tergiur dengan gaya hidup modern dan mengejar materi. Akibatnya, mereka nekat menjual lahan yang statusnya milik negara kepada masyarakat luar.
“Mobil yang mereka miliki hasil dari menjual lahan,” tuturnya.
Datu Karim menduga ada oknum Punan yang terlibat dalam penjualan lahan ilegal ini. Ia menyebut ada ‘punan modern’ yang berambisi mendapatkan kekayaan dengan cara yang tidak sah.
“Mereka buka lahan kemudian dijual,” ucapnya.
Di sisi lain Datu Karim pun menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perambahan hutan. Saat ini, pihaknya tengah melakukan penelusuran ke aparah penegak hukum (APH) seperti Inhutani maupun IKANI untuk melakukan koordinasi.
Pasalnya, sebagai pemilik hak atas kawasan, perusahaan (Inhutani dan IKANI) memiliki hak melakukan pengawasan dan memberikan tanda pembatas.
“Namun keadaan saat ini sudah dirambah, terkait kelanjutannya kami terus melakukan upaya semaksimal mungkin,” katanya.
Datu Karim menegaskan, sebagai pendamping suku Punan Batu Benau, ia pernah bersama Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltara turun ke lapangan dan menemui para oknum pembuka lahan, namun hanya diberikan teguran tanpa tindakan yang berarti.
“Teguran tersebut tidak pernah diindahkan perambah hutan, akibatnya oknum tersebut semakin gencar dan berani lantaran belum ada ketegasan yang diberikan,” ungkapnya.
Sebagai pendamping komunitas Punan, Datu Karim terus menampung keluhan dan kebutuhan masyarakat Punan Batu Benau. Pihaknya berharap laporan yang telah disampaikan ke penegak hukum dapat segera ditindaklanjuti.
“Sebagai pendamping komunitas Punan, saya tetap menampung segala keluhan dan kebutuhan dari masyarakat Punan Batu Benau,” pungkas Datu Karim. (OC/SB)
Discussion about this post