SB, TARAKAN – Kepala Bidang Perli6ndungan dan KSDAE, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kaltara, Maryanto mengungkapkan kekhawatiran terkait perambahan hutan yang terjadi di wilayah jelajah Suku Punan Batu Benau.
Menurut Maryanto, perambahan hutan ini tidak hanya mengancam wilayah adat, tetapi juga flora dan fauna endemik di dalamnya. Ia menerangkan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait pembukaan lahan di wilayah tersebut.
Namun, lantaran hal ini merupakan ranah penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan (Gakkum), maka pelapor diarahkan untuk membawa perkara tersebut ke Gakkum.
“Pelanggaran tersebut merupakan ranah Gakkum, karena mereka sebagai penyelenggara fungsi, bukan di Dinas Kehutanan,” ucapnya.
Lebih lanjut Maryanto menjelaskan, bahwa wilayah yang di klaim sebagai lahan Masyarakat Hukum Adat (MAH) masih dalam proses. Saat ini pihaknya masih berpegang pada aturan lahan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
“Ada wilayah yang diklaim merupakan lahan Inhutani yang memiliki izin, kemudian diajukanlah MAH. Sementara surat MAH belum terbit dan masih dalam klaim Kesultanan Bulungan,” terangnya.
“Di dalam izin tentu perusahaan harus menjaga kawasanya, karena izinya dari kementerian, maka koordinasi ke Gakkum,” imbuhnya.
Dijelaskan lebih jauh oleh Maryanto, Dishut Kaltara sendiri berperan melaksanakan patroli, sedangkan penegakkan hukum merupakan wewenang Gakkum. Dirirnya juga menyoroti adanya oknum yang bermain dengan menjual lahan di kawasan hutan milik negara.
“Untuk data luasan kawasan tersebut, pihak KPH kerap turun ke lokasi untuk mendata titik yang telah dirambah,” ujarnya.
Lantas menurut Maryanto, setidaknya terdapat 10 hingga 20 hektar luas lahan bukaan hutan yang sudah dirambah. Perambahan tersebut dilakukan secara sporadis atau tidak merata. Namun, untuk wilayah yang sudah diperjualbelikan, pihaknya tidak dapat mendata.
“Kalau mau turun ke lapangan bersama-sama ayo, karena untuk sementara pihaknya belum bisa melakukan penyelidikan lebih lanjut lantaran PPNS kami belum dilantik,” kata Maryanto.
Pihaknya sering kali memberikan peringatan kepada sejumlah oknum masyarakat, tinggal bagaimana penegakkan hukumnya. Selama melakukan patroli, pihaknya tidak pernah menerima intimidasi lantaran kawasan tersebut milik negara.
“Namun rekan-rekan yang melakukan patroli mendapatkan bahwa pemilik lahan tidak dapat menunjukkan surat-surat kepemilikan. Bahkan bukti jual beli tidak dapat ditunjukkan, oknum tersebut hanya berdasarkan pengakuan klaim atas tanah,” ungkapnya.
Adapun hasil temuan yang didapatkan petugas patroli seperti pondok, tanaman sawit yang sudah ditanam, dan pembukaan jalan. Itu merupakan kegiatan oknum pembuka lahan yang sudah diidentifikasi Dishut Kaltara.
Maryono khawatir jika tidak ada penegakkan tegas, MHA yang telah diusulkan akan terancam, bahkan flora fauna yang ada akan terancam. Ada banyak goa yang menjadi habitat walet (endemik). Jika pembukaan lahan terjadi secara masif, maka Punan Batu semakin terpojok.
Ia bersama tim masih melakukan penelusuran terkait percepatan proses verifikasi di kementerian. Ia berharap tim dari kementerian dapat menyelesaikan MHA untuk segera menerbitkan SK MHA.
“Jika SK MHA sudah terbit, maka tinggal melakukan aksi di lapangan, salah satunya dengan memasang batas lokasi yang diusulkan MHA, agar masyarakat luar dapat mengetahui batas-batas di dalam maupun di luar MHA,” pungkasnya. (OC/SB)
Discussion about this post