SB, NUNUKAN – Pemecatan dokter Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Nunukan menjadi sejarah dalam proses birokrasi di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan. Pro kontra soal kejadian itu tak dapat dihindari. Padahal, dari 17 program unggulan bupati terpilih, salah satunya adalah memastikan ketersediaan tenaga medis dan tenaga dokter spesialis setiap rumah sakit.
Peristiwa ini pun membuat Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) Maria Ulfa angkat bicara. Kepada suryaborneo.com, ia mengatakan, penyelenggaraan pelayanan publik, selalu identik dengan pelaksana dan birokrasi. Pelaksanaan menunjukkan individu yang menjalankan tugas atau kerja yang telah ditetapkan. Birokrasi juga, jelas Maria Ulfa, memuat sistem organisasi yang memiliki aturan jelas. Diantaranya terhadap kepegawaian, pembagian kerja, struktur yang akan berdampak pada layanan publik.
“Dokter, dalam hal ini sebagai pelaksana, tentu masuk dalam sistem birokrasi yang ada. Di satu sisi, kewajibannya memberikan pelayanan kepada masyarakat atau pengguna layanan. Di sisi lain juga memiliki kewajiban administratif sebagai pegawai yang diatur oleh pemerintah daerah,” ungkapnya.
Dikatakan Maria Ulfa, kebutuhan terhadap layanan publik juga sangat dinamis. Dan, salah satu bentuk layanan yang terbaik adalah layanan yang partisipatif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. “Sehingga tugas Pemerintah untuk memenuhi layanan kesehatan dengan menjamin ketersediaan tenaga kesehatan termasuk apabila dibutuhkan dokter spesialis, terlebih adanya tanggung jawab dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM),” jelasnya.
Dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Nunukan, lanjutnya, perlu diingat bahwa masyarakat menginginkan layanan yang paripurna. Mereka datang ke unit-unit layanan dengan harapan diberikan layanan yang berkualitas. Baik dari sisi sarana dan prasarana (Sarpras) maupun dari sisi tenaga kesehatan (nakes), seperti dokter, perawat dan lainnya.
“Olehnya itu, kita perlu menjamin bahwa layanan berkualitas akan senantiasa diberikan. Salah satu upaya yang dilakukan yakni memastikan SOP dijalankan dan apabila tidak dijalankan, maka akan ada sanksi,” ujaranya.
Namun, kata Ulfa, kondisi di lapangan kerapkali meminta pemerintah agar dalam pengambilan keputusan tidak merugikan masyarakat. Sehingga terhadap permasalahan ini, keputusan berupa sanksi yang diberikan, apabila tidak terdapat Nakes atau dokter pengganti yang memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan layanan, maka akan berpotensi merugikan masyarakat atau terjadi kekosongan layanan.
Seperti diketahui, polemik pemecatan dokter berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Nunukan tak hanya menjadi perbincangan hangat di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, tindakan tegas Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan melakukan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri itu juga menjadi pro kontra di tengah masyarakat.
Masyarakat menilai, saat wilayah perbatasan sangat membutuhkan tenaga dokter, justru 4 dokter, termasuk 2 dokter spesialis disanksi berat berupa pemecatan. Tak ingin Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nunukan disalahkan, Bupati Nunukan H. Irwan Sabri pun angkat bicara. Ia mengatakan, keputusan pemberhentian dokter telah melalui mekanisme dan proses penanganan sesuai prosedur berlaku.
“Sebelum dipecat, sudah ada tahapan dilakukan. Bahkan, prosesnya itu dilakukan sejak 2021 hingga 2022 di zaman bupati terdahulu. Termasuk ada pemanggilan kepada dokter melalui (surat peringatan) SP1, SP2 dan SP3,” jelas Irwan Sabri.
Mengenai usulan menerima kembali dan membatalkan pemecatan itu, lanjutnya, tentu ada prosedur dan mekanisme. Sebab, putusan yang dikeluarkan merupakan hasil dari pertimbangan Badan Kepegwaian Negara (BKN) berdasarkan apa dilaporkan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Nunukan.
“Saya sebagai bupati hanya menjalankan perintah BKN saja,” ujarnya.
Namun, saran Irwan, jika dokter tersebut merasa keberatan dengan sanksi pemecatan yang diterima, mereka dapat menempuh jalur hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Jika ternyata proses itu (PTUN) bisa menggugurkan SK pemecatan yang sudah diterbitkan dan mengembalikan hak-hak yang seharusnya menjadi milik mereka, ya Pemkab Nunukan bersedia menerima mereka kembali,” tegasnya. (dln)
Discussion about this post