SB, TARAKAN – Maraknya barang ilegal asal Malaysia yang beredar di sejumlah pasar di Tarakan, yang umumnya dijadikan bahan konsumsi bahkan dijadikan buah tangan oleh tamu dari luar Tarakan, tak luput dari perhatian banyak pihak. Di sejumlah tempat, bahkan masih banyak barang asal Malaysia yang terpantau bebas dipasarkan.
Terkait masalah ini, Kepala Balai POM Kota Tarakan, Herianto Baan menjelaskan, barang ilegal tanpa izin edar seharusnya menjadi tugas bersama semua pihak. Sebab, barang tanpa izin edar masuk dalam kategori tindak pidana. Namun, kata Herianto Baan, yang menjadi masalah, kadang ada oknum penegak hukum yang membocorkan bila pihaknya hendak melakukan pemeriksaan.
“Termasuk tindak pidana. Hanya yang biasa kita lakukan, ya tahapan kita kan memperingati dulu, peringatan keras. Yang kedua, menindaklanjuti kalau misalnya masih, ya kita bisa pidanakan. Hanya persoalannya, memang di dalam pelaksananya itu, kadangkala kita waktu kesana sudah bocor dan sebagainya, tutup (tokonya), jadi gitu,” ungkapnya.
Untuk penanganannya pun, Herianto mengaku, Badan POM Tarakan tak bisa bekerja sendirian. Mereka harus bekerja sama dengan seluruh pihak, seperti kepolisian, dinas terkait dan lainnya. Hal ini dilakukan lantaran lingkup kerja pengawasan barang ilegal ini cukup luas, termasuk di darat dan di laut. Bahkan, pelakunya menjalankan bisnisnya dengan cara sembunyi-sembunyi.
“Harusnya nggak boleh (sembunyi-sembunyi). Tapi kita terus berkoordinasi. Tapi, ya perlu komitmen yang kuat bersama antara istansi pemerintah ini. Harus satu pemahaman, gitu,” katanya.
Dalam tugasnya, Balai POM Tarakan dibebankan untuk selalu melakukan pemeriksaan. Ketika ada temuan, barang tersebut akan dimusnahkan atau diarahkan untuk pengembalian produk karena dianggap ilegal atau tidak memenuhi kriteria layak makan atau lainnya.
“Kalau sudah tiga kali (ditemukan kesalahan) kita bisa tindak lanjut (ke arah pidana),” tegasnya.
Saat ini, kata Herianto Baan, pihaknya belum menemukan laporan tindak pidana produk ilegal di Tarakan. Hal ini, kata dia, harus ditopang dengan komunikasi dan kolaborasi semua pihak dalam menghetikan produk ilegal dan tidak layak digunakan dan beredar di Tarakan.
“Jadi, harus ada memang kolaborasinya. Kolaborasi sama-sama, baik pemerintah daerah maupun lainnya (termasuk masyarakat),” katanya.
Kendati Balai POM Tarakan dan pihak terkait sudah menjalin komunikasi yang baik, hal itu ternyata tak berlaku di masyarakat. Oleh Balai POM Tarakan, masyarakat kadang sering membandingkan kualitas produk luar negeri dan dalam negeri. Salah satu produk Malaysia, Milo misalnya.
“Masyarakat pun harus punya kesadaran bahwa untuk produk seperti Milo. Dalam artian masyarakat lebih cenderung menggunakan Milo luar negeri daripada Milo Indonesia. Katanya, menurut mereka lebih manis. Padahal setelah dilakukan penelitian, ternyata lebih manis Milo Indonesia. Hanya sugesti itu agar lebih bangga kalau menggunakan produk Milo dari luar daripada Milo kita sendiri,” jelasnya.
Produk lainnya, bener Herianto, Balai POM Tarakan pernah meneliti sosis yang didatangkan melalui jalur ilegal. Sosis itu dimuat dengan kapal kayu tanpa cool box. Tentu saja sosis ini akan melahirkan bakteri yang akan menimbulkan penyakit bila dikonsumsi.
“Itu kan menggunakan kapal biasa. Yang mana bisa sampai 7 jam, 5 jam. Di dalam ini (kapal) kan pasti dia tidak menggunakan cool box yang betul-betul bisa mempertahankan suhunya. Itu yang terjadi. Akhirnya pada saat pendistribusian tidak bisa mempertahankan suhunya dalam keadaan dingin. Timbullah, muncullah bakteri. Berubah, bertumbuh dia. Lama dan tidak menggunakan alat yang namanya cool box yang betul-betul bisa mempertahankan suhu,” kata Herianto seraya menyebut, kapal-kapal pengangkut barang ilegal ini umumnya berlayar dan bongkar muat di jalur-jalur tikus.
Herianto kemudian memaparkan, pengusaha yang mendatangkan barang berupa makanan dan minuman dari luar negeri, umumnya menggunakan kapal dengan biaya murah. Hal ini dilakukan untuk menekan biaya angkut. Ditambah lagi, mereka melakukan aksi ilegal ini lantaran tidak mudahnya membuat izin sebagai importir.
“Nah, itulah yang menjadi kendala importir yang ada. Misalnya Milo Malaysia itu. Persaratan-persyaratan itu susah, mereka harus membutuhkan biaya yang cukup besar. Di satu sisi sudah ada mereka punya kerjasama antara pengusaha di Surabaya,” kata Herianto.
Untuk teknisnya, jelas Heriyanto, pendaftaran pangan impor harus melalui beberapa tahap. Yang pertama, kata dia, distributor atau importir yang ingin mendaftarkan pangan impornya harus mengurus izin edarnya ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) setempat. Nanti, baik itu Balai POM dan lainnya akan mendampingi sehingga bisa dapat izin edarnya.
“Sebelum pendampingan, memang mereka harus sudah siap terkait dengan salah satu persyaratan, misalnya gudangnya. Kemudian, tempat penyimpanannya seperti apa, ya kan. Kemudian, pangan impor itu apakah sudah ada, apa namanya istilahnya letter of agreement antara produsen yang di sana dengan importir,” katanya. (sdq)
Discussion about this post