Oleh: Dr. Syamsuddin Arfah, M.Si
Di tengah arus globalisasi dan tantangan terhadap identitas generasi muda, Kalimantan Utara menawarkan satu inisiatif pendidikan berbasis nilai religius, kebangsaan, dan multikultural. Inisiatif ini dikenal sebagai Pusat Pendidikan Jati Diri Bangsa—atau apapun nama yang nantinya digunakan—yang jelas bukan dan tidak seharusnya menggunakan istilah “pesantren” secara kelembagaan, kecuali telah memenuhi persyaratan hukum yang sah sesuai Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Berlokasi di Tanjung Palas (Kabupaten Bulungan) dan Desa Gunawan (Kabupaten Tanah Tidung), gagasan ini ditujukan sebagai model pendidikan karakter yang inklusif. Namun demikian, muncul kritik dan pertanyaan mendasar: apakah lembaga ini telah memiliki tujuan yang jelas, kurikulum yang tertata, pendanaan yang transparan, serta tenaga pendidik yang kompeten dan terverifikasi?
Bukan Masalah Nama, Tapi Kepastian Legal dan Nilai
Menggunakan istilah “pesantren” tanpa status hukum dan izin operasional resmi adalah kesalahan fatal, yang berpotensi membingungkan publik serta mencederai tradisi keislaman itu sendiri. Oleh karena itu, nama seperti “Pusat Pendidikan Jati Diri Bangsa” adalah alternatif yang lebih netral, inklusif, dan tidak melanggar kaidah regulasi maupun sensitivitas umat.
Ketegasan: Kurikulum Harus Jelas atau Ditunda Saja
Dalam setiap lembaga pendidikan, kurikulum adalah fondasi utama. Jika kurikulum belum tersusun dengan jelas, maka pendirian lembaga ini sepatutnya ditunda terlebih dahulu hingga tersedia kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan ideologis. Pendidikan bukan eksperimen sosial. Ia menuntut arah, isi, dan integritas sejak awal.
Kejelasan Lokasi, Tujuan, dan Kelayakan Operasional
Lembaga ini telah didirikan di dua titik di Kalimantan Utara. Namun pendirian lokasi saja tidak cukup. Harus dipastikan bahwa:
Tujuan pendirian bukan sekadar simbolisasi toleransi, tetapi benar-benar mendidik generasi dengan akhlak, wawasan kebangsaan, dan tanggung jawab sosial.
Tenaga pendidik harus memiliki latar belakang yang valid, bukan hanya semangat, tapi juga ilmu dan metode.
Jumlah pengajar, metode pengajaran, dan bentuk evaluasi harus terstruktur dan terdokumentasi.
Rekrutmen peserta didik harus jelas: dari mana, berapa orang, dan dengan pendekatan seperti apa.
Pendanaan lembaga wajib transparan dan terverifikasi. Jika tidak jelas, maka izin operasional tidak boleh diberikan.
Pengawasan adalah Bagian dari Pendidikan
Pemerintah daerah, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, dan DPRD Kaltara harus hadir sebagai pengawas aktif. Pendidikan bukan hanya soal niat baik, tapi juga soal arah, kualitas, dan keberlangsungan. Jangan biarkan nama besar “pendidikan karakter” menjadi selubung dari program yang kabur atau tidak siap dijalankan.
Menuju Generasi Berjati Diri
Apa yang sedang dibangun ini sangat mulia: membentuk jati diri bangsa. Namun agar tidak berhenti pada slogan, maka ketegasan regulasi, kejelasan kurikulum, kepastian SDM, dan pengawasan tata kelola harus menjadi pilar utama. Jika semua itu terpenuhi, maka Kalimantan Utara bisa jadi percontohan nasional—bukan hanya dalam pendidikan multikultural, tetapi juga dalam integritas kebijakan publik.
Penulis adalah berlatar pendidikan Islam, pemimpin daerah, dan pemerhati pendidikan sosial-keagamaan di Kalimantan Utara.
Discussion about this post